Jendela Tokoh & Opini

IMG-20230217-WA0008

Keindahan Pantai Widuri Pemalang, Membuat Ariyanto Tertarik Memboomingkan Lagu “Widuri”

Pantai Widuri (Foto : Ragil)

Jendela Jurnalis Pemalang -
Sebuah pantai yang terletak di Kabupaten Pemalang, paling populer adalah Pantai Widuri, juga menjadi sebuah lagu yang sangat Hits pada era 1977 hingga sekarang, yang dibawakan oleh Bob Tutupoly.

Akses ke Pantai Widuri sangat lah mudah untuk di jangkau, dari alun-alun Pemalang, lurus ke utara menuju jalur Pantai Widuri.

Jalan tersebut dibuat oleh Patih sampun, yang menjabat Patih di Kadipaten Pemalang pada masa lalu.

Pantai Widuri terletak di Desa Widuri, Kecamatan Pemalang, oleh masyarakat setempat Widuri disebut sebagai "tllincing" merupakan pantai yang terletak di pesisir Utara Pulau Jawa.

Diapit oleh tiga Desa, yaitu Danasari, Sugihwaras dan Kelurahan Pelutan, Kecamatan Pemalang.

Seperti karakter pantai Utara pulau Jawa, Pantai Widuri tidak berombak terlalu besar seperti pantai selatan, hanya sedikit mengkwatirkan ketika musim baratan (seperti saat ini), sepanjang kita memandang bentangan Pantai Widuri, berjejer pohon cemara, bagai pagar alam berwarna hijau, menghiasi pinggiran pantai, yang membawa Bob Tutupoly seorang legendaris lagu nostalgia Indonesia, menjadi terkenal, karena pantai widuri.

Lagu widuri sendiri diciptakan oleh Slamet Andriadie pada Tahun 1972, Andriadie bekerja di perusahaan rekaman "Remaco" pada saat itu, antara Tahun 1969- 1971.

Dikutip dari kompas.com (03/02/2016) , dari data koran harian kompas terbitan 3 february 1977, Andriadie merupakan lulusan Sekolah Teknologi menengah (STM) ATM di Semarang.

Pada mulanya lagu Widuri karyanya ini, ditertawakan oleh teman-temannya karena dirasa jelek.

Namun, karena atas kebaikan A.Riyanto yang menggawangi studio remaco di Cipete Jakarta, lagu ini diberi kesempatan untuk direkam, dan Bob Tutupoly di tunjuk untuk menyanyikan lagu tersebut sekaligus ikut menata kembali lagu Widuri ciptaan Andriadie tersebut.

Tidak disangka, lagu tersebut kemudian booming di pasaran, dibawakan oleh Bob Tutupoly, dan diaransemen oleh A.Riyanto, lalu album lagu ini sukses terjual, sebanyak 650.000 salinan di seluruh Indonesia pada tahun 1977.

Bisa dikatakan lagu paling fenomenal, dan kini menjadi lagu "Love song Indonesian Evergreen".

Bob Williem Tutupoly, lahir pada 13 November 1939, menjadi penyanyi terkenal, karena lagu dengan judul "Widuri".

Setelah kepulangannya dari Amerika, selanjutnya semakin di kenali masyarakat lewat lagu, lidah tak bertulang, tiada maaf bagimu, tinggi gunung seribu janji dan lainnya.

Akan tetapi dari sekian lagu ber Genree melow, lagu Widuri lah yang membuat seorang Bob Tutupoly, sangat terkenal hingga akhir hayatnya. (Ragil74)*

IMG-20221229-WA0009

PBNU Terbitkan SK, Jaenal Aripin Sah Ditetapkan Jadi Ketua Tanfidziyah PCNU Karawang Periode 2022-2027

Foto Deden Pemana (Sekretaris) didampingi Mirsad (Bendahara)

Jendela Jurnalis Karawang -
Usai terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Karawang dalam Konfercab PCNU Karawang ke-XXI di Ponpes Ashidiqiyah pada Sabtu (12/11/2022), H. Jaenal Aripin akhirnya sah ditetapkan oleh PBNU sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Karawang.

Ketetapan tersebut sah setelah dikeluarkannya SK PBNU bernomor 157/PB.01/A.II.01.45/99/12/2022 tentang Pengesahan PCNU Kabupaten Karawang masa khidmat 2022-2027.

Ketua KADIN Karawang Fadhludin Damanhuri, Ketua GP Anshor Karawang, dan aktivis lingkungan Muslim Hafidz dampingi Jaenal Arifin sebagai wakil ketua.

Sementara posisi Sekretaris PCNU Kabupaten Karawang dipegang oleh Deden Permana yang juga sebagai Ketua Gapensi Karawang. Khoerudin, Jajang Sulaeman dan Dona Romdona dampingi Deden Permana sebagai wakil sekretaris.

Sedangkan posisi Bendahara diduduki oleh Mirsad. Kades Jatimulya Pedes, H. Ato Furtoni duduk sebagai wakil bendahara.

Pengasuh Ponpes Ashidiqiyah K.H. Hasan Nuri Hidayatullah, Pengasuh Ponpes Nihayatul Amal K.H. Tatang Syihabudin, Pengasuh Ponpes Al-Ikhlas K.H. Nasehudin duduk dalam jajaran mustasyar.

Ketua Syuriah PCNU Kabupaten Karawang dipegang oleh K.H. Zubair Wasith. Beliau didampingi oleh H. Nunu Ahmad Faridz, K.H. Dudung Al-Misbah, K.H. Muhib Balya dan kiai sepuh lainnya.

Sementara Katib Syuriah dipegang oleh K.H. Juhyar. Kiai Asep Yakub Baihaki dan H. Ahmad Gozali duduk sebagai wakil katib. (Red).

IMG-20221215-WA0005

Alijullah Jusuf, Dari Penumpang Gelap Menjadi Lurah Paris

Alijullah Hasan Jusuf saat dalam acara Book Talt & Meet The Author di Museum Bahari, Jakarta Utara

Jendela Jurnalis, Jakut -
Pada tahun 1967, Alijullah Hasan Jusuf muda membuat geger nasional bahkan internasional, karena menjadi penumpang gelap ke Eropa (mendarat di Amsterdam), dari Jakarta hanya bermodalkan boarding pass bekas. Namun dia ditangkap Aparat Keamanan, sempat ditahan beberapa hari dan kemudian dikembalikan ke Indonesia.

Kurang dari setahun pasca kegagalan menyelundup ke Amsterdam tersebut, Alijullah kembali mencoba mewujudkan mimpinya. Kali ini tujuannya Paris atau London. Menumpang pesawat Qantas dalam kabin sebagai penumpang gelap, Alijullah berakrobat menghilangkan diri. Dia berlindung di tengah tubuh-tubuh raksasa pemain rugbi Perancis, hingga menerobos gerbang imigrasi Bandara Le Bourget di Paris.

Semua kisah itu beliau tulis dalam dua buku, yaitu "Penumpang Gelap" (2014) serta "Penumpang Gelap 2/Paris Je Reviendrai" (2015).

Sekarang, Pak Ali menikmati masa tua sebagai pensiunan Staf Lokal KBRI Perancis di Paris. Beliau menghabiskan waktu dengan menulis dan juga membantu orang-orang Indonesia yang kebetulan pergi ke Paris. Beliau dikenal dengan sebutan "Lurah Paris" dan kisah tersebut ditulis pada buku ketiga, yang berjudul sama, yaitu "Lurah Paris" (2022).

Kisah itu didiskusikan dalam acara Book Talk dan Meet the Author, yang diselenggarakan oleh Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) dan Indonesia Hidden Heritage Creative Hub (IHHCH) didukung Museum Bahari Jakarta, Minggu (11/12/22) bertempat di Museum Bahari Jakut.

Buku yang dibahas adalah Penumpang Gelap (2014), Penumpang Gelap 2/Paris, Je Reviendrai (2015), serta Lurah Paris (2022), dengan narasumber Alijullah Hasan Jusuf (penulis), serta Riri Satria (Ketua JSM) dan dipandu oleh Nofa Farida Lestari (Direktur IHHCH).

Pada acara tersebut, juga dibacakan nukilan masing-masing buku oleh tiga perempuan penyair, yaitu Emi Suy, Nunung Noor El Niel dan Rissa Churria.

“Saya sangat terharu dengan acara ini, apalagi ketika Mbak Emi, Mbak Nunung dan Mbak Rissa, membacakan nukilan buku-buku tersebut. Saya jadi teringat dengan kisah hidup saya di masa lalu. Uda Riri dan Mbak Nofa, juga pandai mengajak saya mengingat masa lalu hidup saya, lewat diskusi ini. Terima kasih kepada JSM dan IHHCH, atas semua ini”, demikian Alijullah Jusuf menjelaskan, didampingi sang istri, Suryati Harefa.

Mengapa IHHCH ikut serta dalam acara ini? Direktur IHHCH, Nofa Farida Lestari menjelaskan, “Dalam dua buku pertama yang ditulis Pak Ali, secara tak sengaja juga menceritakan sejarah masa lalu kota Jakarta, misalnya bagaimana suasana Bandara Kemayoran tahun 1967, jalan-jalan di Kota Jakarta saat itu dan sebagainya. Jadi, selain novel-autobiografi, buku-buku Pak Ali ini juga sangat menarik sebagai catatan sejarah”.

Sementara itu, Ketua JSM, Riri Satria menjelaskan, “Saya mengenal Pak Ali ketika sedang menempuh kuliah S3 di Paris, Prancis. Beliau yang menjemput saya di Bandara Charles de Gaule, di Paris. Mengajak keliling Paris dan Pak Ali yang menyetir mobil. Saat itulah saya mengetahui, Pak Ali juga menuliskan novel-autobiografi tentang kisah hidup dirinya. Pada tahun 2017 ketika saya meluncurkan buku puisi saya berjudul Winter in Paris di Ubud Writers and Readers Festival 2017, Pak Ali juga hadir, karena pas sedang berada di Indonesia. Hari ini, kami membuatkan acara ini untuk Pak Ali, sebelum kembali ke Paris, lusa.”

Ketika dimintai pendapatnya mengenai sosok Alijullah Jusuf, penyair Emi Suy mengatakan, bahwa ini adalah sosok yang visioner, persisten, punya kemauan yang kuat, pemberani namun mudah mellow, serta nekat.

“Saya menyimpulkan itu, setelah membaca buku-bukunya dan ketemu langsung orangnya, langsung beberapa kali di Jakarta dan tahun 2017 di Ubud Bali, ketika peluncuran buku puisi Bang Riri,” demikian Emi, melanjutkan dan diamini oleh Nunung dan Rissa, yang sama-sama membacakan nukilan buku pada acara tersebut.

Kepala Museum Bahari Jakarta, Mis’ari, menyambut baik dan bahagia atas diselenggarakannya acara ini di Museum Bahari.

“Museum Bahari terbuka untuk berbagai acara literasi dan sejarah, karena museum bukan hanya berkisah tentang masa lalu, namun menjadi tempat pembelajaran bagaimana kita menatap masa depan, dengan mempelajari masa lalu,” demikian Mis’ari mengatakan dalam sambutannya. (AP)