Jebakan Batman Ranperpres, DP Ingin Jadi Lembaga Pemerintah

Jendela Jurnalis, Jakarta
Oleh:
Ketum Serikat Pers RI, Hence Mandagi
Kericuhan Dewan Pers (DP) dan para konstituennya, saat pembahasan Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang media berkelanjutan, sempat menjadi tranding topic di kalangan Insan Pers tanah air. Selain memalukan, DP dan konstituen mempertontonkan silang pendapat para Elit Pers, bak ‘perang Bharatayuda’ di depan Pejabat Kemenkominfo dan Kemenkopolhukam.
Entah kepentingan Kelompok Pers mana yang tengah diperjuangkan dua kelompok Elit Pers yang biasanya terlihat mesra ini.
Yang pasti, ada 'bau-bau' kepentingan oligarki tercium di tengah pembahasan Perpres ini. Kue belanja iklan yang hanya 15 persen dari total belanja iklan nasional itu, diakal - akalin dengan kemasan isu monopoli 60 persen belanja iklan oleh Perusahaan Platform Digital Asing, sehingga urgensi Perpres perlu dikebut.
Padahal, yang justru memonopoli belanja iklan di Indonesia adalah media TV Nasional, yang menguasai 78 persen dari total belanja iklan nasional.
Pihak DP sendiri sudah menyetor kepada Kemenkominfo, draft Raperapres tahun 2023, tentang "Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital, untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas."
Kemenkominfo yang dikejar setoran, makin bergairah dan tancap gas, untuk memenuhi perintah deadline dari Presiden RI, Jokowi, agar Perpres tersebut jangan lewat sebulan, setelah Perwakilan Pers bertemu Kominfo.
Perpres media berkelanjutan ini pun dikebut, meski mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, termasuk oleh sejumlah konstituen DP sendiri.
Ramai diberitakan, Ketum SMSI, Firdaus, mengingatkan pihak Pemerintah, agar dalam penyusunan draft Publisher Right Platform Digital, tetap memperhatikan masukan - masukan Ketua DP sebelumnya, alm. Azyumardi Azra.
Dia menandaskan, agar jangan ada agenda terselubung untuk membunuh Perusahaan Pers start up, yang sekarang berkembang dan 2000 Perusahaan, diantaranya di bawah binaan SMSI.
Sayangnya, DP dan Kemenkominfo, tak menghiraukan semua masukan dan penolakan. Malah pembahasan terus berlanjut di lokasi berbeda. Bak pepatah kuno, ‘anjing menggonggong khafila berlalu.'
Terlepas dari ‘perang saudara’ DP dan para konstituennya, ada persoalan lain yang lebih substansial dari wacana penerbitan Perpres media berkelanjutan ini.
Bahayanya, Perpres ini bakal mencederai dan mengkhianati perjuangan Kemerdekaan Pers tahun 1999. UU No. 40/1999 lahir dengan semangat swa regulasi, demi menjamin Kemerdekaan Pers.
Oleh sebab itu, tidak ada turunan peraturan, ketika UU Pers ini disahkan pada tahun 1999. Karena pada paragraf akhir dalam bagian Penjelasan Bab I Ketentuan Umum disebutkan: "Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, UU ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang - undangan lainnya."
Dasar hukum dalam menerbitkan Perpres dengan nama kerennya Publisher Rights ini, salah satunya adalah UU Pers, disamping UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Tentunya Perpres ini jadi sangat bertentangan dengan UU Pers itu sendiri.
Parahnya, pada draft Perpres yang diajukan DP, terdapat banyak Pasal yang justru telah menempatkan DP sebagai regulator, bukan lagi sebagai fasilitator atau lembaga independen, sebagaimana diatur dalam UU Pers. Dan itu jelas, telah merubah fungsi DP menjadi Lembaga Pemerintahan, yang mengatur perijinan atau regulasi.
Jika Perpres ini disahkan Presiden, maka Pemerintah menempatkan DP bukan lagi lembaga independen, melainkan sebagai Lembaga Pemerintah.
Pada draft Perpres yang diajukan DP, Pasal 5 ayat (1) disebutkan: "Perusahaan Platform Digital ditetapkan oleh DP, berdasarkan kehadiran signifikan dari Perusahaan Platofrm Digital di Indonesia."
Kemudian muncul lagi di Pasal 6: "Tata cara dan mekanisme pengukuran kehadiran signifikan Persuahaan Platform Digital, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) ditetapkan oleh DP."
Sementara pada Pasal 8 Ayat (1) disebutkan: "Perusahaan Pers yang berhak mengajukan permohonan kepada DP atas pelaksanaan tanggung jawab Perusahaan Platform Digital, adalah Perusahaan Pers yang telah terverifikasi oleh DP." Dan Ayat (2): "Perusahaan Pers yang belum terverifikasi oleh DP, dapat mengajukan permohonan verifikasi kepada DP."
Pada bagian akhir dibuat aturan, bahwa untuk mewujudkan kesepakatan bagi hasil antara Perushaaan Pers dan Perusahaan Platform Digital, DP lah yang membuat atau membentuk pelaksana.
Mencermati kondisi ini, DP dan Pemerintah mungkin lagi terserang penyakit "amnesia". Karena baru - baru ini ada putusan MK terkait perkara No. 38/PUU-XIX/2021 tentang Uji Materiil UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, terhadap UUD tahun 1945.
Dalam pertimbangan hukumnya, MH MK menyatakan, beberapa ketentuan dalam UU 40/1999 yang mengatur jaminan Kebebasan Pers, yaitu: Poin ke sembilan, “Pengaturan mandiri (self regulation) dalam penyusunan peraturan di Bid. Pers, dengan memberikan ruang bagi Organisasi - organisasi Pers, dalam menyusun sendiri peraturan-peraturan di Bid. Pers, dengan difasilitasi oleh DP yang independen.”
Pada bagian penting pertimbangan hukumnya, MH MK mengutip keterangan Presiden RI, Jokowi, bahwa ketentuan UU Pers memiliki makna, bahwa fungsi DP adalah sebagai fasilitator dalam penyusunan peraturan - peraturan di Bid. Pers dan bukan sebagai lembaga pembentuk peraturan (regulator).
Mahkamah mempertimbangkan, bahwa tujuan dibentuknya DP adalah untuk mengembangkan Kemerdekaan Pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas Pers Nasional. Tujuan tersebut dicapai antara lain, dengan adanya peraturan - peraturan di Bid. Pers, yang menjadi acuan dan standarisasi. Namun demikian, agar tetap menjaga independensi dan Kemerdekaan Pers, maka peraturan di Bid. Pers disusun sedemikian rupa tanpa ada intervensi dari Pemerintah, maupun dari DP itu sendiri.
Dengan adanya putusan MK tersebut, jika Perpres dipaksakan, maka akan bertentangan dengan putusan MK. Karena Pemerintah melakukan intervensi dengan membuat Perpres, sebagai regulasi buat Pers.
Presiden, Kemenkominfo dan DP, harusnya menghormati putusan MK dan menjadikannya sebagai dasar pembentukan peraturan di Bid. pers, adalah swa regulasi atau hanya Organisasi Pers yang berhak menyusun Peraturan Pers.
DP saja tidak boleh membuat atau menentukan sendiri isi Peraturan Pers menurut UU Pers, namun Presiden justru hendak membuat Peraturan Pers.
Kondisi ini memang tidak mengejutkan. Sebab selama ini, Pers Indonesia seolah-olah hanya milik Elit Pers. Tak heran, DP sering menjadi sasaran kritik pergerakan Kebebasan Pers.
Regulasi media yang akan dibuat lewat Perpres media berkelanjutan itu, pada intinya akan mengatur penyaluran iklan dari Perusahaan Platform Digital ke Perusahaan Pers.
Selama ini, platform digital milik asing, menyalurkan iklan ke Perusahaan Pers secara langsung, tanpa perantara. Meskipun penghasilan media online dari bekerjasama dengan platform digital asing sangat minim, namun pembagiannya cukup merata di seluruh Indonesia. Atau ada ratusan ribu media online yang bergerak di Bid. Pers maupun Non Pers, yang menerima iklan dari platform digital asing.
Tak ada regulasi yang mengatur kerjasama tersebut. Penghasilan media tergantung dari kekuatan berita yang dipublish, apakah dibaca orang atau tidak. Sayangnya, penghasilan media yang sangat kecil dari paltform digital asing itu pun, nantinya bakal dikuasai kelompok Elit Pers di DP, lewat pemberlakuan Perpres media berkelanjutan.
Menyikapi kondisi ini, penulis menyarakan kepada Presiden RI, Jokowi, sebaiknya Pemerintah membuat regulasi jangan tangung-tanggung. Gunakan saja dasar UU anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, sehingga tidak perlu menggunakan UU Pers. Selain itu, sebaiknya Pemerintah menggunakan UU Kadin, sebagai tambahan dasar hukum Perpres.
Sebagai masukan bagi Pemerintah, monopoli belanja iklan nasional oleh Perusahaan Lembaga Penyiaran atau TV Nasional, justru harus dibuatkan regulasi, agar tidak ada praktek monopoli.
Di Negara ini ada UU No. 1 tahun 1987 tentang Kadin, yang mengatur tentang upaya mengembangkan iklim usaha yang sehat, meningkatkan pembinaan dunia usaha, mengembangkan dan mendorong pemerataan kesempatan yang seluas - luasnya bagi Masyarakat Pengusaha, untuk ikut serta dalam pelaksanaan pembangunan di bidang ekonomi, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dari pada Pemerintah sibuk mencampuri urusan Pers yang sudah menutup ruang bagi pihak luar menyusun Peraturan Pers termasuk Pemerintah, lebih baik Pemerintah mengurus pemerataan belanja iklan nasional, yang kini dimonopoli oleh segelintir orang dan Perusahaan yang berdomisili di Jakarta.
Karena berbicara pelarangan persaingan usaha tidak sehat, maka Pengusaha yang melanggar ketentuan itu yang harus diatur, dalam hal ini Perusahaan Agency Periklanan dan Pengusaha Platform Digital, baik lokal maupun asing. Lembaga yang paling tepat melakukan itu berdasarkan aturan perundang - undangan, adalah Kadin.
Kadin diberikan kewenangan oleh UU Kadin, pada Pasal 7 huruf (f), untuk melakukan kegiatan: “Penyelenggaraan upaya memelihara kerukunan di satu pihak, serta upaya mencegah yang tidak sehat di pihak lain diantara Pengusaha Indonesia dan mewujudkan kerjasama yang serasi antara Usaha Negara, Koperasi dan usaha swasta, serta menciptakan pemerataan kesempatan berusaha.”
Kemudian pada huruf (g): “Penyelenggaraan dan peningkatan hubungan dan kerjasama antara Pengusaha Indonesia dan Pengusaha Luar Negeri, seiring dengan kebutuhan dan kepentingan pembangunan di bidang ekonomi, sesuai dengan tujuan pembangunan nasional."
Dengan demikian, urusan perdagangan, perindustrian dan jasa menurut perundang - undangan, adalah kewenangan Kadin, bukan DP. Akan sangat rancu dan aneh, jika DP ‘kegenitan’ ingin diberi kewenangan mengatur urusan perdagangan, perindustrian dan jasa, yang jelas-jelas merupakan domain Kadin.
DP hanya diberi fungsi oleh UU Pers, sesuai Pasal 15 ayat 2. Di luar Pasal itu, DP harusnya tahu diri dan tidak boleh bermimpi menjadi regulator.
Presiden memiliki niat yang tulus untuk membuat regulasi, agar terjadi pemerataan perolehan iklan bagi Perusahaan Pers di seluruh Indonesia. Jadi, informasi tentang monopoli belanja iklan nasional oleh TV Nasional, juga perlu diketahui Presiden.
Jangan-jangan selama ini Presiden tidak terinformasi soal belanja iklan nasional, hanya dimonopoli oleh segelintir Pengusaha di Jakarta saja. Perputaran uang di bisnis ini, kini mencapai lebih dari Rp200 triliun pertahun, namun tidak ada satu lembaga pun di Negeri ini yang berani mengutak - atik.
UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, sejatinya harus diberlakukan terhadap distribusi belanja iklan yang hanya terpusat di Kota Jakarta saja. Padahal pada ketentuan umum, UU ini menyebutkan: “Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha, yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.”
Disebutkan pula, dalam ketentuan umum UU ini tentang: “Persekongkolan atau konspirasi usaha, adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain, dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan, bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.”
Pada bagian yang sama disebutkan pula: “Persaingan usaha tidak sehat, adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum, atau menghambat persaingan usaha.”
Yang melanggar Pasal tentang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, ada sanksi pidana dan denda yang cukup besar.
Untuk mengatasi atau menghindari praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka Pemerintah telah membuat UU Kadin, untuk memberi peran strategis kepada Kadin, dalam memastikan tidak ada praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di lingkungan Pengusaha dan Perusahaan di Indonesia.
Oleh karena yang ingin diatur Presiden, adalah kerjasama Perusahaan Platform Digital Asing dengan Perusahaan Pers, maka sistem yang berlaku adalah business to business. Jadi, bukan menyangkut karya jurnalistik yang menjadi domain DP dan Organisasi Pers.
Bagaimana mungkin DP mau mengatur Pengusaha media tentang tata cara Perusahaannya berbisnis dengan Perusahaan Asing. Fungsi pengaturan business to business tidak ada dalam fungsi DP pada UU Pers.
Jika Presiden sampai memakai draft Perpres yang disodorin DP, maka itu berpotensi mencoreng prestasi gilang - gemilang Jokowi selama dua periode Pemerintahannya. Presiden Jokowi tidak boleh dijebak dan diperhadapkan dengan dilema, untuk mengeksekusi Perpres versi DP. Ini namanya Ranperpres, bisa jadi jebakan batman bagi Presiden Jokowi.
Mayoritas Pers di seluruh Indonesia, justru menunggu langkah berani Presiden Jokowi, membuat regulasi agar belanja iklan nasional tidak hanya dimonopoli oleh segelintir orang saja. Presiden harus mampu memberdayakan Kadin dalam masalah monopoli belanja iklan media, agar dapat membantu Pengusaha media lokal yang merupakan mayoritas masyarakat Pers, yang selama ini terabaikan dan termarjinalisasi.
Karena banyak pemilik atau Pengusaha Media yang bukan berprofesi sebagai Wartawan, sehingga tidak pas jika dipaksa berbisnis dengan menggunakan UU Pers. Organisasi Perusahaan Pers yang menjadi bagian dalam UU Pers, hanya berlaku untuk memastikan Perusahaan Pers menghasilkan karya jurnalistik yang bertanggung jawab dan mematuhi Kode Etik Jurnalistik.
Ketika Pengusahanya atau Perusahaan itu bersentuhan dengan bisnis, maka aturan perundangan yang berlaku tentunya menggunakan UU No. 1 tahun 1987 tentang Kadin dan perlindungan usahanya menggunakan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (AP)