Jendela Nasional

IMG-20250829-WA0068

Pasca Insiden Tragis di Jakarta, Aksi Demo Meluas ke Mapolres Karawang dan Berakhir Ricuh

Kondisi kericuhan demonstrasi di Depan Mapolres Karawang

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Aksi demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh kematian seorang pengemudi ojek online (ojol) bernama Affan Kurniawan (21) terus meluas dan memanas. Setelah sebelumnya kerusuhan pecah di depan Gedung DPR RI Jakarta, kini aksi solidaritas bergelombang terjadi di berbagai daerah, termasuk di Karawang, Jawa Barat.

‎Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa demo di depan Markas Polres Karawang pada Jumat (29/8/2024) berlangsung ricuh. Massa yang didominasi oleh pelajar dan mahasiswa awalnya melakukan aksi damai, namun situasi memanas setelah orasi-orasi bernada tinggi bergema di halaman Mapolres.

‎Sejumlah pelajar terlihat membawa poster bertuliskan "Keadilan untuk Affan" dan "Jangan Biarkan Aparat Membunuh Rakyat". Ketegangan meningkat saat sebagian massa mulai melempari petugas dengan botol plastik dan batu. Polisi pun bertindak cepat, mengamankan beberapa pelajar yang dianggap memprovokasi kerumunan.

‎Aksi di Karawang merupakan bagian dari gelombang protes nasional yang meletus setelah insiden tragis di Jakarta. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojol muda, dilaporkan meninggal dunia akibat ditabrak oleh kendaraan taktis (rantis) milik Brimob saat kericuhan unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Kamis (28/8/2024).

‎Peristiwa ini memicu kemarahan publik. Di Jakarta, demonstrasi hari kedua berlangsung lebih panas. Titik konsentrasi massa berpindah ke Markas Satuan Brimob Polda Metro Jaya di Kwitang, Jakarta Pusat. Sekitar pukul 14.50 WIB, polisi mulai mendorong mundur massa yang marah dan melemparkan petasan serta benda-benda ke dalam kompleks Markas Brimob.

‎Gas air mata ditembakkan untuk membubarkan kerumunan yang mulai anarkis. Suara dentuman gas air mata dan jeritan massa mewarnai suasana. Banyak dari pengunjuk rasa tampak berlarian sambil menutup mata dan hidung mereka, sementara beberapa lainnya mengevakuasi teman-teman mereka yang pingsan akibat paparan gas.

‎Pihak keluarga Affan Kurniawan dan berbagai organisasi masyarakat sipil kini mendesak transparansi dalam penanganan kasus ini. Mereka menuntut adanya investigasi independen terkait tindakan aparat yang menyebabkan hilangnya nyawa seorang warga sipil.

‎"Ini bukan sekadar kecelakaan. Ini adalah bentuk kekerasan negara terhadap rakyatnya sendiri," ujar Farhan, salah satu orator di aksi Karawang. "Kami tidak akan diam sampai keadilan ditegakkan."

‎Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta juga telah menyatakan sikap resmi. Dalam pernyataannya, mereka mengecam keras penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat saat mengendalikan massa aksi, dan menyerukan pembentukan tim pencari fakta independen.

‎Sementara itu, pihak Kepolisian melalui Kadiv Humas Polri menyampaikan bahwa mereka akan menyelidiki insiden yang menewaskan Affan. "Kami sangat menyesalkan kejadian tersebut. Proses investigasi internal telah dilakukan dan kami berkomitmen untuk transparan," ujarnya dalam konferensi pers singkat.

‎Namun, pernyataan itu belum cukup meredam kemarahan publik. Gelombang protes masih terus berlangsung dan diperkirakan akan meluas ke berbagai daerah lain dalam beberapa hari ke depan. (red)*

IMG-20250818-WA0106

Kisah Pilu di Negeri Orang: Perempuan dengan Empat Anak Terjebak di Arab Saudi, Ingin Pulang ke Indonesia‎

Siti dan keempat anaknya

Jendela Jurnalis NASIONAL - Jalan hidup pekerja migran Indonesia (PMI) tak selalu diwarnai kesuksesan. Ada yang berhasil membawa pulang rezeki untuk keluarga, namun tak sedikit yang terjerat dalam kisah memilukan. Itulah yang kini dialami Siti, PMI asal Lombok Tengah, bersama keempat anaknya yang masih kecil, terkatung-katung di Arab Saudi tanpa kepastian bisa kembali ke tanah air.

‎Perjalanan Panjang Menjadi PMI

‎Siti berangkat ke Arab Saudi pada 2011 melalui PT. Milenium Muda Makmur. Namun nasibnya tak seindah harapan. Ia ditempatkan pada majikan yang kerap menunda bahkan sulit membayar gaji. Setelah bekerja 18 bulan dengan kondisi penuh tekanan, Siti akhirnya memutuskan kabur untuk mencari pekerjaan lain.

‎Di tanah rantau itu, Siti bertemu Jumaetawan, pria asal Lombok Tengah yang lebih dulu berangkat ke Arab Saudi pada 2006 melalui PT. Karya Pesona. Awalnya, Jumaetawan bekerja resmi sebagai sopir dengan kontrak tiga tahun. Namun setelah kontraknya tidak diperpanjang, ia memilih tetap bekerja di Saudi dengan status PMI non-dokumen.

‎Pertemuan keduanya berujung pada pernikahan di tahun 2013. Dari pernikahan itu, lahirlah empat orang anak:

‎1. Zammalik Zumartha (2015)

‎2. Fawaz Khairil Zumartha (2018)

‎3. Neysha Marwah Zumartha (2022)

‎4. Kaisar Patynama Zumarthan (2024)


‎Hingga awal 2025, kehidupan keluarga kecil itu masih berjalan cukup baik. Meski serba terbatas, kebutuhan sehari-hari anak-anaknya tercukupi.

‎Awal Penderitaan: Suami Dideportasi

‎Kebahagiaan itu berubah drastis pada Februari 2025, ketika Jumaetawan ditangkap aparat Arab Saudi karena melanggar keimigrasian. Statusnya sebagai pekerja non-dokumen membuat ia tak berdaya menghadapi proses hukum. Pada Maret 2025, ia resmi dideportasi ke Indonesia.

‎Namun kepulangan Jumaetawan ke tanah air bukanlah kebahagiaan. Sebab istri dan keempat anaknya masih tertahan di Arab Saudi. Tanpa dokumen resmi, mereka kesulitan untuk keluar, meski sudah empat kali mendatangi Tarhil Sumaisi—pusat penampungan deportasi Arab Saudi. Setiap kali, permohonan mereka ditolak.

‎Sejak itu, kehidupan Siti dan anak-anaknya makin terpuruk. Tanpa suami sebagai tulang punggung keluarga, mereka kehilangan sumber penghasilan. Kontrakan rumah tak lagi terbayar hingga akhirnya diusir oleh pemilik. Untuk bertahan hidup, mereka hanya bisa mengandalkan belas kasih dan bantuan seadanya.

‎“Untuk makan saja sulit, tempat tinggal tidak ada lagi. Kami hanya ingin bisa pulang ke Indonesia,” tutur Siti dalam kesaksiannya.

‎Negara Abai, Serikat Buruh Bergerak

‎Harapan Siti sempat tertuju pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah, sebagai perwakilan negara. Namun hingga kini, ia mengaku tidak pernah mendapat tanggapan yang memadai.

‎Di tengah keputusasaan itu, Dewan Pengurus Cabang Luar Negeri (DPCLN) Sarbumusi Jeddah turun tangan. Ketua DPCLN, Zakaria, langsung menemui Siti dan anak-anaknya untuk mendengar langsung kesulitan mereka.

‎“Kami sudah komunikasi dengan Sarbumusi Pusat. Memang tidak bisa menjanjikan pasti, tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu Siti dan anak-anaknya,” ujar Zakaria.

‎Harapan Pulang ke Tanah Air

‎Kisah Siti bukanlah satu-satunya. Ribuan PMI masih menghadapi nasib serupa: hidup dalam ketidakpastian, bekerja tanpa dokumen, hingga terjebak masalah hukum di luar negeri. Namun kisah ini menjadi potret nyata betapa rentannya pekerja migran yang lemah perlindungan.

‎Kini, Siti hanya punya satu harapan: bisa kembali ke tanah air bersama keempat buah hatinya. Sebab di Indonesia, suaminya menanti dengan penuh kerinduan.

‎“Yang kami butuhkan hanya pulang. Kami ingin berkumpul kembali sebagai keluarga di kampung halaman,” ucapnya lirih. (ALN)*

IMG-20250817-WA0086(1)

SPPI Gaungkan Perlindungan Nelayan Migran di Forum Internasional Stella Maris Batam

Ilyas Pangestu, Ketum SPPI (kiri)

Jendela Jurnalis Batam, KEPRI - Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) kembali menunjukkan perannya sebagai kekuatan strategis dalam memperjuangkan hak-hak pelaut dan nelayan migran Indonesia. Organisasi ini menjadi salah satu peserta penting dalam Pertemuan Regional Jaringan Katolik Scalabrinian Stella Maris yang berlangsung di Golden View Hotel, Batam, Kepulauan Riau, pada 11–15 Agustus 2025.

‎Forum bergengsi ini mempertemukan delapan direktur Stella Maris dari tiga benua, perwakilan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Provinsi Kepulauan Riau (BP3MI Kepri), serta berbagai pemangku kepentingan global yang peduli terhadap nasib pelaut dan nelayan migran.

‎Mengusung misi memperkuat perlindungan, pelayanan, dan peningkatan kesejahteraan, forum ini juga menyoroti dukungan bagi keluarga pekerja yang ditinggalkan di tanah air—sosok-sosok yang kerap menjadi penopang utama perekonomian daerah.

‎SPPI Pamerkan Capaian dan Kolaborasi Internasional

‎Ketua Umum SPPI, Ilyas Pangestu, dalam paparannya menyampaikan perkembangan organisasi, strategi perlindungan anggota, serta capaian kerja sama internasional. Hingga kini, SPPI telah menghimpun lebih dari 23.000 anggota terdaftar dari berbagai daerah di Indonesia.

‎“SPPI berkomitmen memperjuangkan hak-hak pelaut dan nelayan Indonesia di mana pun mereka bekerja. Kolaborasi dengan pihak internasional dan pemerintah menjadi kunci dalam menciptakan perlindungan yang nyata,” tegas Ilyas.

‎Ia juga menambahkan bahwa SPPI aktif menjalin Nota Kesepahaman (MoU) dengan sejumlah asosiasi pemberi kerja di luar negeri. Menurutnya, langkah ini terbukti memberikan dampak positif dalam memastikan jaminan perlindungan serta pemenuhan hak-hak pekerja.

‎Pemerintah Perkuat Tata Kelola Penempatan

‎Dari pihak pemerintah, Yayan Hernuryadin, Direktur Penempatan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran BP2MI, menegaskan komitmen negara dalam memperkuat perlindungan pekerja migran melalui regulasi dan tata kelola yang lebih baik.

‎“Kami berkomitmen memperkuat perlindungan pekerja migran melalui perbaikan regulasi, tata kelola yang lebih baik, rekrutmen yang adil, dan peningkatan kesejahteraan. Berdasarkan data KP2MI, Taiwan menjadi negara tujuan utama dengan 4.139 penempatan pada tahun 2024,” ujar Yayan.

‎Dari wilayah Kepulauan Riau, Kepala BP3MI Kepri, Imam Riyadi, juga melaporkan adanya peningkatan signifikan penempatan awak kapal niaga pada 2025. Hal ini didukung oleh program strategis, mulai dari pengawasan ketat, bantuan hukum, pemulangan, hingga program kesejahteraan bagi pekerja migran.

‎“Kami terus berupaya memastikan pelaut dan nelayan migran Indonesia mendapatkan perlindungan maksimal. Mulai dari proses keberangkatan hingga kembali ke tanah air, semua kami dukung dengan program yang terstruktur,” ungkap Imam.

‎Ia menekankan bahwa kerja sama lintas negara, digitalisasi data, serta perluasan cakupan jaminan sosial merupakan pilar utama untuk memastikan kondisi kerja yang adil.

‎Forum Internasional: Dari Asia hingga Amerika Latin

‎Forum semakin dinamis ketika perwakilan pusat pelayanan Stella Maris dari berbagai negara—mulai dari Manila, Brasil, Panama, Uruguay, Taiwan, hingga Italia—berbagi pengalaman mendampingi pelaut migran. Berbagai kisah advokasi hukum, bantuan darurat, hingga dukungan spiritual menjadi catatan penting dalam memperkuat solidaritas global.

‎SPPI: Garda Terdepan Perlindungan Nelayan Migran

‎Melalui forum ini, SPPI menegaskan perannya sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan kesejahteraan pelaut dan nelayan migran Indonesia. Sinergi antara organisasi pekerja, pemerintah, dan jaringan internasional diharapkan menciptakan sistem perlindungan yang kokoh dan berkelanjutan.

‎“Kerja sama internasional, sistem data yang terintegrasi, dan jaminan sosial yang luas adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang layak bagi seluruh pekerja migran kita,” tegas Imam Riyadi.

‎Dengan semangat kolaborasi global, SPPI percaya bahwa perjuangan nelayan dan pelaut migran Indonesia akan semakin diperhitungkan di panggung dunia. (ALN)*

IMG-20250812-WA0006

Bergabungnya FSPPSN ke Sarbumusi: Jalan Menuju Tahta Serikat Buruh Nomor Satu

Deklarasi FSPPSN saat bergabung dengan SARBUMUSI

Jendela Jurnalis JAKARTA - Di hari Sabtu yang tak biasa, 9 Agustus 2025, lobi Gedung PBNU di Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, menjadi saksi momen yang bisa saja dikenang dalam sejarah perburuhan Indonesia. Di hadapan Ketua PBNU, H. Mohamad Syafi' Alielha atau Savic Ali, Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin dan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Pelabuhan dan Strategis Nasional (FSPPSN) Farudi menandatangani dokumen deklarasi afiliasi. Sejak tinta itu menempel di kertas, FSPPSN resmi menjadi bagian dari rumah besar Nahdlatul Ulama.

‎Dalam sambutannya, Irham menyambut mereka bukan sekadar sebagai tamu, melainkan keluarga baru. “Kawan-kawan selamat datang di rumah besar Sarbumusi. Dengan federasi sektor pelabuhan ini, total sudah ada 14 federasi di Sarbumusi ujarnya. Ada nada optimistis, bahkan sedikit tantangan pada dirinya sendiri, sebab periode kepemimpinannya akan berakhir pada 2027.

‎Namun Irham juga mengingatkan, kekuatan Sarbumusi tidak hanya diukur dari jumlah anggota, tetapi dari legitimasi sosial-politik yang dimilikinya. “Sarbumusi ini anaknya NU, NU ini pemegang saham terbesar di republik ini. Tidak ada satu pun hal yang bisa gagal apabila dinegosiasikan oleh NU, dan Sarbumusi adalah bagian dari NU,” tegasnya. Pernyataan itu bukan hiperbola; ia mengacu pada fakta sejarah bahwa NU memiliki jejaring sosial, kultural, dan politik yang menembus semua lini birokrasi dan pemerintahan.

‎Farudi, yang kini memimpin FSPPSN di bawah bendera Sarbumusi, punya pandangan yang sejalan. Menurutnya, langkah bergabung ini adalah ikhtiar menyatukan aspirasi buruh pelabuhan dengan gerakan buruh yang sudah mapan. “Sarbumusi bukanlah serikat biasa,” katanya, mengulang narasi yang juga dipegang Irham. “Serikat ini lahir dari ikhtiar batin para ulama, bukan semata respons terhadap kejadian sesaat.”

Pelabuhan: Sektor Strategis di Persimpangan Zaman

‎Mengapa sektor pelabuhan menjadi penting? Irham memberi jawabannya. Ada dua konteks strategis. Pertama, Indonesia sebagai negara kepulauan dan maritim akan selalu membutuhkan pelabuhan sebagai simpul konektivitas antarpulau. Pelabuhan bukan hanya pintu keluar masuk barang, tetapi juga denyut nadi ekonomi nasional.

‎Kedua, pasca-pandemi COVID-19, sektor logistik dan pergudangan mengalami pertumbuhan signifikan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lonjakan arus barang yang drastis dalam empat tahun terakhir. Bagi buruh, ini bukan sekadar angka; ini adalah peluang untuk meningkatkan posisi tawar. Irham bahkan mengingatkan soal ancaman dan peluang modernisasi, termasuk adopsi kecerdasan buatan (AI) di industri pelabuhan. “Kawan-kawan harus siap, jangan sampai teknologi malah membuat kehilangan pekerjaan,” pesannya.

‎Sarbumusi: Sejarah, Ideologi, dan Posisi Saat Ini

‎Sarbumusi lahir pada 27 September 1955 di Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo, sebagai sayap buruh Nahdliyin. Saat itu, ia menjadi benteng melawan dominasi SOBSI yang berhaluan kiri. Di masa kejayaannya pada awal Orde Baru, Sarbumusi memiliki sekitar 2,5 juta anggota.

‎Kini, setelah transformasi menjadi konfederasi pada 2016, Sarbumusi mengklaim memiliki lebih dari 1 juta anggota dari 14 federasi, meskipun data Kementerian Ketenagakerjaan pada 2023 mencatat sekitar 463 ribu anggota terverifikasi. Secara nasional, Sarbumusi pernah berada di posisi ke-4 konfederasi serikat buruh terbesar, di bawah serikat seperti SBSI yang mengklaim 2,1 juta anggota.

‎*Analisis: Tinggal Menunggu Waktu?*

‎Jika memakai kerangka teori mobilisasi sumber daya (McCarthy & Zald, 1977), kekuatan serikat buruh tidak hanya bergantung pada jumlah anggota, tetapi juga akses terhadap sumber daya politik, finansial, dan sosial. Bergabungnya FSPPSN memberi Sarbumusi tambahan dua hal penting:

‎1. Kekuatan basis sektor strategis yang sulit tergantikan dalam perekonomian nasional.

‎2. Peningkatan bargaining power karena sektor pelabuhan erat kaitannya dengan kebijakan publik dan BUMN strategis.

‎Faktor lain yang mempercepat langkah Sarbumusi adalah jejaring struktural NU yang merentang hingga ke tingkat desa. Ini menjadi “modal sosial” yang sulit disaingi oleh serikat lain. Secara teori political opportunity structure (Tarrow, 1998), kondisi ini memberi Sarbumusi peluang memengaruhi kebijakan negara secara langsung.

‎Namun, jalan menuju posisi nomor satu tidak otomatis mulus. Tantangan terbesar adalah verifikasi dan konsolidasi data keanggotaan. Untuk melampaui SBSI secara resmi, Sarbumusi harus membuktikan jumlah anggota riil yang terdata di Kemenaker melebihi 2 juta. Artinya, butuh kerja politik dan administrasi simultan.

‎Momentum Sejarah

‎Bergabungnya FSPPSN ke Sarbumusi bukan sekadar penambahan anggota; ini adalah langkah strategis yang bisa menjadi titik balik sejarah perburuhan Indonesia. Jika Sarbumusi mampu menggabungkan kekuatan ideologis warisan ulama, modal sosial NU, basis sektor strategis pelabuhan, dan konsolidasi administratif yang rapi, maka prediksi Sarbumusi akan menjadi serikat buruh nomor satu di Indonesia bukanlah mimpi kosong.

‎Seperti kata pepatah organisasi: kemenangan bukanlah soal siapa yang paling cepat memulai, tetapi siapa yang paling konsisten membangun kekuatan hingga akhir.

‎Penulis: Ali Nurdin (Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi)

IMG-20250808-WA0049

LBH Sarbumusi Resmi Dilantik, Ali Nurdin: Semangat Baru bagi Keadilan Buruh Migran

LBH Sarbumusi

Jendela Jurnalis JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Konfederasi Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) resmi dilantik berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 172/DPP.KSBMI/44/A-1/VIII/2025. Pelantikan berlangsung di Lantai 8 Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, pada Jumat (8/8/2025) pagi.

‎Prosesi pelantikan ditandai dengan pembacaan ikrar yang dipandu oleh Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarbumusi, Irham Ali Saifuddin, dan diikuti oleh seluruh peserta pelantikan. Direktur LBH Sarbumusi, Dr. Muhtar Said, S.H., M.H., memimpin jalannya ikrar yang diawali dengan kalimat Basmalah dan dua kalimat syahadat, serta peneguhan prinsip perjuangan Sarbumusi yang berlandaskan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah dan garis perjuangan Nahdlatul Ulama (NU).

‎Dalam ikrar tersebut, seluruh jajaran LBH Sarbumusi menyatakan tekad untuk melaksanakan tugas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan hak asasi manusia, demi melindungi dan membela hak-hak buruh serta kaum pekerja Indonesia.

‎Direktur LBH Sarbumusi, Dr. Muhtar Said, menegaskan komitmennya untuk mengabdikan diri dalam memperjuangkan keadilan dan hak-hak buruh di Indonesia. “Kami akan berjuang mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia dengan senantiasa mengikuti garis perjuangan Nahdlatul Ulama dan berpegang pada prinsip-prinsip Ahlussunnah wal Jamaah,” ujarnya.

‎Sementara itu, Ketua Umum Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-BUMINU Sarbumusi), Ali Nurdin, menyampaikan bahwa kehadiran LBH Sarbumusi menjadi semangat baru bagi buruh migran Indonesia (PMI) yang masih menghadapi berbagai persoalan hukum.

‎“Banyak kasus yang sampai hari ini masih menggantung, mulai dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga berbagai permasalahan lain yang menimpa PMI. LBH Sarbumusi diharapkan menjadi ujung tombak perjuangan membela hak dan martabat buruh migran,” kata Ali Nurdin.

‎Ali Nurdin menegaskan, perjuangan ini bukan sekadar persoalan hukum semata, melainkan juga perjuangan kemanusiaan.

‎“PMI adalah pahlawan devisa, tapi sering kali mereka pulang hanya membawa luka, bukan kebahagiaan. Kehadiran LBH Sarbumusi harus menjadi tameng terakhir yang siap berdiri di barisan depan, memastikan tidak ada lagi buruh migran yang diperlakukan semena-mena tanpa perlindungan,” tegasnya.

‎Pelantikan ini diharapkan menjadi momentum baru bagi gerakan buruh Indonesia, khususnya dalam memperkuat advokasi dan pendampingan hukum yang berbasis nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. (red)*

IMG-20250808-WA0023

Siap Hadapi Kongres Persatuan PWI 2025, Hendry Ch Bangun Optimis Menang dengan Mayoritas Dukungan‎

Hendry Ch Bangun

Jendela Jurnalis JAKARTA – Kongres PWI Persatuan diagendakan berlangsung pada 29-30 Agustus 2025. Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun menyatakan diri siap memenangkan ajang kontestasi pemilihan Ketua Umum PWI tersebut.

‎Optimisme Hendry Ch Bangun menang dalam kongres PWI Persatuan di Cikarang, Bekasi nanti, bukan tanpa alasan. Dalam keterangannya, ia mengaku mendapatkan dukungan mayoritas pemilik suara.

‎“Semalam saya sudah melakukan rapat dengan 20 an PWI Provinsi dan semuanya memberikan dukungan pencalonan saya,” ungkapnya, Kamis (7/8/2025).

‎Lebih lanjut Hendry mengatakan, hingga tiba hari kongres berlangsung, para pendukungnya akan terus memberikan dukungan tertulis sesuai aturan dari panitia kongres.

‎Sebagai informasi, Steering Committe (SC) Kongres telah menetapkan aturan bahwa setiap calon ketua umum harus mengantongi dukungan tertulis minimal 20 persen pengurus PWI tingkat provinsi.

‎Hingga Kamis sore, diketahui terdapat 7 nama bakal calon yang akan maju dalam Kongres Persatuan PWI. Kendati ketujuh nama tersebut masih belum terkonfirmasi selain nama Ketua Umum PWI Hendry Ch Bangun.

‎Hendry Ch Bangun terpilih menjadi Ketua Umum PWI melalui Kongres yang berlangsung pada 2023 lalu di Bandung. Secara sah Hendry mengantongi SK kementerian Hukum dan HAM dengan Nomor 0000946.AH.-01.08 Tahun 2024.

‎Namu dirinya Sepakat berdamai dengan Ketua PWI hasil Kongres Luar Biasa (KLB), Zulmansyah, yang dimediasi oleh Angota Dewan Pers Dahlan Dahi. Kesepakatan tersebut kemudian memperkuat dilaksanakannya Kongres Persatuan PWI.

‎Sebelumnya, terjadi dinamika dalam tubuh PWI yang membuat organisasi profesi wartawan itu terbelah antara kubu Hendry Ch Bangun dengan kubu Zulmansyah. Dampaknya, terjadi aksi saling klaim, hingga berbuntut laporan polisi.

‎Hendry saat itu dilaporkan atas tuduhan penggelapan dan penyalahgunaan jabatan, sedangkan Zulmansyah dilaporkan atas dugaan keterangan palsu dalam akta notaris.

‎Diketahui, Polda Metro Jaya pada 10 Juni 2024 menyatakan bahwa tidak ada unsur pidana yang dilakukan Hendry Ch Bangun seperti yang dituduhkan dalam laporan polisi.

‎Di sisi lain, laporan terhadap nama Zulmansyah hingga kini dikabarkan masih berproses di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.

‎“Mengesampingkan kepentingan pribadi, saya Ikhlas mengurangi masa jabatan saya yang mestinya hingga September 2028, dan setuju kongres bulan Agustus ini, demi PWI.

‎Hendry menuturkan, polemik seolah terjadi dua kepemimpinan serta kampanye yang massif di PWI KLB selama ini membuat organisasi PWI serba salah.

‎“Pemerintah di pusat dan di provinsi enggan bekerjasama karena khawatir dianggap berpihak. Begitu pula mitra swasta yang selama ini mendukung program kerja PWI Pusat dan PWI Provinsi,” imbuhnya.

‎Maka Hendry berpandangan bahwa kongres menjadi jalan Jalan keluarnya atas kondisi demikian. Ia juga optimis melalu kongres maka PWI akan kembali bersatu dan menjalankan program kerja yang ditunggu para anggota.

‎Diakuinya banyak penolakan dari anggota dan pengurus terhadap kongres yang akan berlangsung akhir Agustus 2025 itu. Pasalnya, Hendry merupakan PWI yang diakui negara dan memiliki badan hukum bisa berjalan seperti biasa.

‎Terlebih PWI dibawa kepemimpinan Hendry telah terbiasa menjalankan roda organisasi dengan berbagai kegiatannya di pusat maupun daerah dengan dukungan anggota diseluruh pelosok Tanah air.

‎“Tetapi saya meyakinkan teman-teman untuk berpandangan jauh ke depan, mengurangi ketegangan antara PWI dan Pemerintah, dan melakukan hal yang bermanfaat bagi anggota,” kata Hendry.

‎Ia bilang, dalam kurun waktu setahun terakhir program peningkatan kapasitas wartawan seperti Uji Kompetensi, Sekolah Jurnalisme Indonesia, dan Safari Jurnalistik tak berjalan dengan baik.

‎Berdasarkan safari yang dilakukan di sejumlah provinsi, dirinya menyerap aspirasi dan pernyataan dukungan atas digelarnya kongres.

‎Dengan pengalaman SC (Steering Committe dan OC (Organizing Committe) serta kerjasama dengan berbagai institusi pemerintah, Hendry optimis kongres akan berjalan lancar dan damai. (red)*

IMG-20250413-WA0004

Ali Nurdin Temui Keluarga Susanti di Karawang: Upaya Menggali Informasi Yang Utuh Agar Publik Tidak Disesatkan Oleh Narasi Sepihak

Ali Nurdin (tengah) saat menggali informasi dari Ayah dan Paman dari Susanti

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Ketua Umum Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-Buminu Sarbumusi), Ali Nurdin Abdurahman, melakukan kunjungan ke rumah keluarga Susanti di Cilamaya, Karawang, pada Sabtu (12/4). Kedatangan Ali ini bertujuan menggali informasi utuh dan menyeluruh tentang kasus tragis yang menimpa Susanti, Pekerja Migran Indonesia yang kini menghadapi vonis hukuman mati di Arab Saudi.

Kunjungan ini dilakukan Ali setelah kepulangannya Orang Tua Susanti dari Arab Saudi akhir tahun lalu, di mana ia sempat bertemu langsung dengan Susanti di penjara. Ali menegaskan pentingnya mendapatkan informasi utuh dari keluarga agar publik tidak terus disesatkan oleh narasi sepihak. “Masih banyak anggapan negatif terhadap Susanti karena informasi yang beredar tidak utuh. Padahal, kebenaran tidak bisa dibangun di atas informasi yang setengah-setengah,” ujarnya.

Menurut keterangan Mahfud orang tua Susanti yang disampaikan kepada Ali, Susanti diberangkatkan ke Arab Saudi pada tahun 2009, Ia bekerja di rumah salah satu majikan, dan di sana sudah ada satu pekerja lain asal Nusa Tenggara Barat (NTB). Tiga bulan setelah bekerja, Susanti mendapati anak majikannya sudah dalam kondisi tak bernyawa di ruang garasi.

Dalam situasi panik, ketidaktahuan, dan tanpa pendampingan, Susanti didesak untuk mengaku sebagai pelaku. Menurut cerita keluarga, sesama pekerja dari NTB juga turut mempengaruhinya agar mengaku agar segera beres, dengan harapan kasus segera selesai dan ia bisa kembali bekerja. Namun, justru pengakuan tersebut itulah menjadi malapetaka dasar adanya vonis berat hukuman mati. Dengan adanya ancaman Hukuman mati ahirnya Susanti telah mencabut pengakuannya melalui pengacara yang ditunjuk oleh Kementerian Luar Negeri, yang kemudian adanya penundaan putusan pengadilan.

Mahfud juga menambahkan bahwa “Dari hasil otopsi, tidak ada satu pun sidik jari Susanti di tubuh korban dan bagaimana mungkin Susanti bisa membunuh anak majikan yang posturnya lebih besar dan usianya hampir sepadan?, dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca muhfud juga mengatakan, “Dalam posisi panik, jauh dari keluarga, tanpa pendampingan, bahasa yang belum ia mengerti dan di negara yang baru ia kenal siapa pun akan mengalami hal serupa,” katanya sambil menahan tangis.
Sementara menurut Ali ada kejanggalan dalam kasus yang menimpa Susanti, karena Secara Logika ini Cacat Hukum, ada kejanggalan kasus ini menjadi upaya bisnis dan komersialisasi hukum adanya uang Diyat.

Dengan suara lantang, Ali mengingatkan bahwa nasib Susanti adalah cermin dari tanggung jawab konstitusional negara. “Apabila Susanti sampai mati padahal bukan pelaku yang sebenarnya, itu adalah kegagalan telanjang negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Ini bukan lagi soal hukum, bukan soal uang, ini soal wibawa, tapi di mana moralitas negara?”

Ali juga menekankan bahwa perjuangan ini bukan hanya tanggung jawab Negara, Kepala Daerah atau pun Diplomat dan Pengacara, ini harus menjadi tanggung jawab kita semua sebagai bangsa. “Tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain kemanusiaan. (Gus Dur)”.

IMG-20250413-WA0012

“Seruan Rahmat Hidayat Djati untuk Selamatkan Susanti dan Reformasi Perlindungan Pekerja Migran”

H. Rahmat Hidayat Djati, M.I.P

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Angin yang berhembus dari ladang-ladang Cilamaya sore itu seakan membawa harapan baru, meski masih samar. Rahmat Hidayat Djati, Anggota DPRD Jawa Barat dan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Karawang, datang bukan sekadar berkunjung. Ia datang membawa suara seorang wakil rakyat yang resah melihat warganya digiring menuju tiang eksekusi, ribuan kilometer jauhnya di Arab Saudi.

Susanti binti Mahfud, seorang pekerja migran asal Karawang, dijadwalkan dieksekusi pada 9 April 2025. Namun eksekusi itu ditunda hingga Juni. “Penundaan ini bukan pengampunan,” ujar Rahmat dengan nada tegas. “Ini hanya memberi waktu. Maka pemerintah melalui Menlu harus segera meningkatkan upaya diplomatik yang lebih tegas karena Susanti bukanlah pelaku pembunuhan. Keyakinan tersebut yang disampaikan mahfud kepada Rahmat Hidayat Djati Sabtu 12/4/2025 atas pengakuan Susanti langsung yang dipertemukan yang pada tahun 2022-2023 dan terahir 2024, Yang di fasilitasi oleh pihak Kementerian Luar Negeri.

Rahmat Desak Gubernur Dedi Mulyadi Ambil Peran dalam Penyelamatan Susanti dan Reformasi Tata Kelola Pekerja Migran

Penundaan eksekusi mati terhadap Susanti binti Mahfud, Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Karawang, Jawa Barat, hingga Juni 2025 menjadi titik kritis baru yang menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat FPKB yang mengecam lambannya respons negara serta meminta Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk turun tangan secara nyata dalam menyikapi kasus yang menimpa warganya.

Rahmat menegaskan bahwa penundaan eksekusi ini hanyalah “jeda maut” jika negara tidak segera menyelesaikan persoalan utama: pembayaran uang diyat sebesar 120 Miliar yang turun menjadi 40 Miliar yang diminta oleh keluarga korban sebagai syarat pengampunan. Padahal menurut ketentuan hukum Arab Saudi sendiri yang ditetapkan Raja Fahd Bin Abdul Aziz pada tahun 1982, nilai diyat qishash maksimal adalah 400 ribu riyal kurang lerbih 1,5 Mliar.

Namun sejak Presiden SBY menggelontorkan dana negara untuk membayar diyat atas nama perlindungan WNI, sejak itulah harga diyat di Arab Saudi jadi liar. Kasus Susanti adalah puncak gunung es dari sistem yang rusak akibat diplomasi yang lemah dan kebijakan tanpa kalkulasi jangka panjang,” tegas Rahmat dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/4).

Menurutnya, praktik seperti ini telah menjadikan nyawa WNI sebagai komoditas tawar-menawar, bukan lagi sebagai entitas yang dilindungi martabat dan hak konstitusionalnya. Ia menyayangkan bahwa kini diyat dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan, bertentangan dengan semangat keadilan Islam yang berpijak pada Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat para imam mazhab.

Rahmat juga menyoroti betapa sulitnya mendapatkan pengampunan dari keluarga korban dalam kasus pembunuhan yang menyasar balita dan lansia di negara-negara yang menerapkan syariat Islam secara ketat, termasuk Arab Saudi. Proses panjang dan kompleks yang melibatkan fatwa-fatwa klasik dan pendapat ulama besar menambah keruwetan diplomasi negara.

“Di masa Orla, Orba, hingga era Presiden Gus Dur, banyak WNI yang terbukti melakukan pembunuhan masih bisa mendapatkan maaf. Sebabnya sederhana: negara hadir. Para Ahlul Khair juga sering menanggung biaya diyat. Tapi begitu negara mulai mencairkan dana diyat secara sistematis, segalanya berubah menjadi pasar gelap nyawa,” ungkapnya.

Desakan kepada Gubernur Jawa Barat

Rahmat Hidayat Djati secara khusus meminta Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi agar tidak tinggal diam melihat tragedi yang menimpa warganya. Menurutnya, sebagai provinsi penyumbang terbesar PMI, Jawa Barat punya tanggung jawab moral dan politis untuk membela Susanti, serta melakukan reformasi kebijakan ketenagakerjaan di tingkat daerah.

“Pak Dedi Mulyadi harus menyadari bahwa Susanti bukan hanya kasus kemanusiaan, tapi juga tamparan keras bagi sistem migrasi kita yang lemah. Sudah waktunya provinsi ini memiliki kebijakan perlindungan PMI yang konkret, mulai dari regulasi pengawasan usia calon pekerja hingga penyediaan bantuan hukum dan pendampingan psikologis,” ucap Rahmat.

Ia juga mendorong dibentuknya satuan tugas atau pusat layanan bantuan hukum dan diplomasi PMI di bawah kewenangan provinsi, serta kerja sama yang lebih erat antara Pemprov Jabar dan Kementerian Luar Negeri.

Kritik atas Kesenjangan Diplomasi

Rahmat menilai sangat tidak adil bila membandingkan cara Indonesia menangani warganya yang terancam hukuman mati dengan bagaimana negara lain melindungi warganya di Indonesia. Ia menyebut sejumlah kasus di mana WNA yang divonis mati di Indonesia bisa dibebaskan hanya melalui kekuatan diplomasi tanpa tebusan apa pun.

“Sungguh ironi. Ketika negara lain mengandalkan kekuatan politik dan diplomatik untuk menyelamatkan warganya, kita justru menjadikan uang sebagai senjata utama. Nyawa Susanti tidak bisa ditukar dengan lembaran rupiah semata. Negara harus menggunakan seluruh kekuatannya, termasuk intervensi langsung Presiden dan pembentukan tim diplomasi khusus,” tegasnya.

Seruan Keadilan dan Konvensi Internasional

Rahmat juga mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional, termasuk Konvensi-Konvensi ILO, yang menekankan pentingnya perlindungan menyeluruh bagi pekerja migran. Namun implementasi konvensi itu di dalam negeri masih sangat lemah, terutama dalam hal bantuan hukum dan kejelasan diplomatik saat warga menghadapi ancaman hukuman ekstrem di luar negeri.

“Ratifikasi bukan sekadar dokumen. Ia adalah komitmen global. Jika kita gagal melindungi Susanti, maka itu berarti kita juga telah mengkhianati konvensi yang kita tandatangani,” Tegas rahmat.

“Selamatkan Susanti, Reformasi Tata Kelola PMI” menjadi seruan yang terus ia gaungkan, bukan hanya kepada pemerintah pusat, tetapi juga kepada pemimpin daerah yang selama ini tanpa sadar telah ikut menikmati devisa dari jerih payah para pekerja migran tanpa pernah benar-benar hadir saat mereka jatuh.

"Kini, waktu terus berdetak menuju Juni. Jika tidak ada langkah konkret, maka jeda ini bisa berubah menjadi vonis. Dan kita, sebagai bangsa, akan kembali mencatat satu nama lagi yang mati karena sistem yang abai," tutup Rahmat. (ALN)*

IMG-20250413-WA0003

Peduli Nasib Susanti, Rahmat Hidayat Djati Beserta Jajarannya Kunjungi Pihak Keluarga

H. Rahmat Hidayat Djati, M.I.P., (tengah) saat berbincang dengan Ayah dan keluarga dari PMI Susanti

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Terkait kabar Pekerja Migran Indonesia (PMI) Susanti yang kini terancam hukuman mati di Arab Saudi, H. Rahmat Hidayat Djati, M.I.P., selaku Ketua DPC PKB Karawang sekaligus sebagai Ketua Komisi 1 DPRD Provinsi Jawa Barat melakukan kunjungan ke kediaman keluarganya yang berlokasi di Dusun Sepatkerep, Desa Cikarang, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang. Sabtu (12/4/25).

Tak sendirian, kedatangan Ketua DPC PKB Karawang tersebut juga didampingi oleh Mulyana, S.H.I, selaku Anggota DPRD Dapil IV Karawang yang juga merupakan Ketua Fraksi PKB Karawang beserta jajaran pengurus DPC PKB Karawang lainnya.

Dalam kunjungannya, Rahmat Hidayat Djati intens melakukan perbincangan dengan Ayah dan keluarga dari Susanti, mulai dari awal mula Susanti berangkat bekerja ke luar negeri hingga berakhir dengan kabar pilu yang diterima pihak keluarga terkait kasus hukum yang menjeratnya.

Dalam kesempatannya, Mahpud selaku Ayah dari Susanti berharap agar pemerintah bisa melakukan upaya agar anaknya terbebas dari vonis hukuman mati sebagaimana yang telah ditetapkan dengan membayar diyat (denda-red).

"Saya sangat berharap agar pemerintah bisa melakukan upaya untuk pembebasan anak saya Pak. Kami dari pihak keluarga sudah berupaya semampunya, tapi kan tahu sendiri pembayaran diyat itu jumlahnya tidak sedikit," harap Mahpud dengan nada lesu. Sabtu (12/4/25).

Sementara itu, dalam kesempatannya, Rahmat Hidayat Djati mengaku akan membantu mengupayakan kebebasan Susanti dengan melakukan koordinasi dan mendorong pihak-pihak terkait untuk bersama-sama melakukan upaya pembebasan bagi Susanti.

"Insya Allah Pak, kami juga akan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengupayakan kebebasan Susanti. Kita bersama-sama berupaya Ya Pak, semoga hasilnya nanti sesuai harapan," ungkap Pria yang akrab disapa Kang Toleng tersebut dihadapan keluarga Susanti.

Selain untuk mengetahui kronologis detail dan tentang permasalahan yang menimpa Susanti secara langsung dari pihak keluarga, kedatangan Kang Toleng juga bertujuan untuk memberikan motivasi, sebagai bentuk kepedulian dan rasa kemanusiaan terhadap kesedihan yang dirasakan oleh pihak keluarganya dalam menghadapi nasib pilu yang di alami Susanti.

Selain itu, Kang Toleng juga datang bersama Ketum dan jajaran pengurus dari F-BUMINU SARBUMUSI yang akan melakukan pendampingan dalam menempuh upaya pembebasan Susanti, dengan harapan agar Susanti bisa terbebas dari hukuman yang memberatkannya saat ini. (Nunu)*

IMG-20250408-WA0037

Desak Pemerintah, Ketum F-BUMINU SARBUMUSI : “Jangan Biarkan Susanti Tewas”

Ali Nurdin Abdurahman, Ketua Umum F-BUMINU SARBUMISI (kedua dari kiri)

Jendela Jurnalis JAKARTA - Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, menyampaikan desakan dan kecaman keras terhadap pemerintah Indonesia terkait nasib tragis Susanti binti Mahfudz, pekerja migran Indonesia asal Karawang, Jawa Barat, yang tinggal menunggu waktu untuk dieksekusi mati di Arab Saudi.

Susanti, yang sudah mendekam di penjara sejak 2009 atas tuduhan membunuh anak majikannya di Dawadmi, kini menghadapi tenggat pembayaran diyat (uang ganti rugi) sebesar 30 juta Riyal Saudi, sekitar Rp. 120 miliar, yang harus dilunasi paling lambat 9 April 2025, atau esok hari. Namun hingga hari ini, dana yang berhasil dikumpulkan baru sekitar 2,27 juta Riyal.

“Jika Susanti sampai dieksekusi besok, maka itu adalah kegagalan telanjang negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Ini bukan lagi soal hukum, ini soal moralitas negara dalam melindungi nyawa warganya,” tegas Ali Nurdin dalam pernyataan resminya, Senin (8/4).

Korban Sistem yang Gagal

Ali Nurdin menekankan bahwa Susanti bukan sekadar terdakwa, tapi korban dari sistem penempatan tenaga kerja yang amburadul. Susanti diberangkatkan ke Arab Saudi saat masih berusia 16 tahun, tanpa pendampingan hukum, tanpa kemampuan bahasa, dan hanya bekerja tiga bulan sebelum akhirnya dipaksa mengakui pembunuhan yang tidak dia lakukan.

“Bagaimana mungkin seorang anak di bawah umur bisa lolos sistem dan dikirim ke luar negeri? Lalu saat dituduh, dia dipaksa mengaku bersalah dan menjalani persidangan tanpa pendampingan hukum. Ini bukan hanya cacat hukum, ini kejahatan sistemik,” tegas Ali.

Ia menyoroti lemahnya perjanjian bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi, serta ketiadaan nota diplomatik yang tegas dalam memberikan perlindungan hukum kepada pekerja migran yang tersangkut kasus pidana. “Kalau tidak ada sistem perlindungan yang jelas, maka pemerintah hanya sedang mengirim anak bangsa ke ladang pembantaian,” katanya.

Diplomasi Gagal, Negara Harus Bertanggung Jawab

Menurut Ali Nurdin, kegagalan diplomasi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) dalam menyelamatkan Susanti harus dikritisi secara serius. Ia menyayangkan bahwa hingga batas waktu tinggal sehari lagi, pemerintah masih belum bisa menggalang dana tebusan minimal Rp. 40 miliar hasil negosiasi.

“Jangan bandingkan nyawa Susanti dengan uang. Bandingkan dengan betapa banyaknya uang negara yang menguap akibat korupsi. Triliunan bisa digelontorkan untuk proyek mercusuar dan insentif politik, tapi menyelamatkan satu nyawa tak bisa?” katanya geram.

Ali juga mengutip Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab memberikan perlindungan menyeluruh, termasuk bantuan hukum, diplomatik, hingga kepulangan.

“Negara tidak boleh menyerah. Jangan biarkan Susanti tewas," singgungnya.

Seruan Terakhir untuk Presiden Prabowo

Melihat waktu yang tersisa tinggal hitungan jam, Ali Nurdin menyerukan Presiden Prabowo Subianto untuk turun langsung, apapun caranya. Ia menyebut bahwa keputusan untuk menyelamatkan nyawa Susanti kini tidak lagi ada di meja menteri, melainkan di tangan Presiden.

“Kita tidak butuh retorika, kita butuh tindakan. Presiden harus bertindak langsung, entah dengan diplomasi khusus, penggalangan dana darurat, atau opsi terakhir lainnya. Negara tidak boleh tinggal diam,” pungkasnya.

Ali Nurdin juga mengingatkan, Susanti bukan satu-satunya. “Masih banyak pekerja migran yang mengalami nasib serupa. Ironisnya, banyak dari mereka baru diketahui keberadaannya setelah vonis mati dijatuhkan atau bahkan setelah dieksekusi. Ini tidak bisa dibiarkan,” ucapnya.

“Kalau negara tak bisa hadir saat nyawa rakyatnya di ujung maut, maka untuk apa kita punya negara?” kata Ali Nurdin, mengakhiri pernyataannya. (NN)*