Komunitas Rabuang Gading, Pemkot Bukittinggi, serta Komunitas Jagat Sastra Milenia, Selenggarakan Temuwicara

0
Foto dalam kegiatan temuwicara

Jendela Jurnalis, Padang –
Sumbar di masa lalu, memiliki banyak perempuan penulis yang handal, diantaranya Rangkayo Rasuna Said, yang dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam, dimana tahun 1935, Rasuna menjadi Pimred di sebuah majalah, Raya. Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumbar. Ini berarti, beliau bukan hanya penulis biasa, namun sosok penulis yang mampu menggetarkan penjajah.

“Namun kita kehilangan sosok-sosok penulis seperti itu,” demikian Riri Satria, menyampaikan sambutannya dalam acara temuwicara yang bertajuk Perempuan Penyair: Perjuangan, Kiprah dan Proses Kreatifnya, yang diselenggarakan di Perpustakaan Proklamator Bung Hatta, Kota Bukittinggi, Sumbar, Sabtu, (3/12/22) lalu. Acara ini diselenggarakan oleh Komunitas Rabuang Gading Bukittinggi, didukung Pemkot Bukittinggi, serta Komunitas Jagat Sastra Milenia.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Martias Wanto, Sekda Bukittinggi, yang membuka acara temuwicara tersebut atas nama Walikota Bukittinggi.

“Padahal menulis, terutama jurnalistik dan sastra, mendapatkan posisi terhormat di Ranah Minang dan yang lebih menarik adalah, banyak kaum perempuan yang menekuninya di masa lalu dan memiliki nama besar dalam perjuangan Kemerdakaan Indonesia,” demikian Martias Wanto melanjutkan.

Bagaimanakah perempuan penyair saat ini menyeimbangkan peran sebagai istri, ibu, karyawan, serta menulis karya sampai saat ini? Para narasumber dalam temuwicara ini membagi kisah mereka kepada para hadirin, pada temuwicara tersebut yang kebanyakan adalah perempuan.

Mereka adalah Emi Suy (penyair dari Jakarta), Nunung Noor El Niel (penyair dari Denpasar, Bali), serta Rissa Churria (penyair dari Bekasi, Jabar), dengan pemandu diskusi Arbi Tanjung (pegiat literasi dari Pasaman, Sumbar). Ketiganya adalah perempuan penyair yang sudah punya nama dan eksis dalam dunia sastra di Indonesia saat ini. Mereka bertiga sudah menerbitkan beberapa buku puisi dan kerap diundang ke berbagai acara sastra di Indonesia. Buku puisi “Ayat Sunyi” karya Emi Suy, pernah mendapatkan anugerah juara harapan III buku puisi terbaik di Indonesia, oleh Perpustakaan Nasioanal RI pada tahun 2019.

Ketiga narasumber menjelaskan, bahwa tidak mudah membagi waktu antara status sebagai wanita pekerja, istri dan ibu di rumah, juga kegiatan sosial lainnya, serta menulis puisi. Rissa adalah seorang guru, sedangkan Emi adalah karyawan swasta di Bid. logistik dan pergudangan, sementara itu, Nunung karyawan sastra di agen perjalanan. Hari-hari mereka penuh dengan bekerja, mengurus suami dan anak, serta aktivitas lainnya. Namun menulis tetap dilakoni dengan berusaha membagi waktu sebaik mungkin.

“Saya menulis, karena demikianlah jalan saya untuk ikut membuat perubahan sosial, mengapungkan berbagai persoalan kemanusiaan dan mencoba menggugah pembacanya. Bahkan saya kerap memotret berbagai persoalan kemanusiaan, lalu kemudian saya jadikan puisi,” demikian Emi, yang juga menekuni dunia fotografi menjelaskan, bagaimana menjaga motivasinya untuk tetap menulis.

“Buku puisi saya yang terakhir berjudul Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami, menjelaskan peran seorang IRT dan sosial, bagaimana ibu adalah tokoh sentral dalam pembentukan karakter anak-anak bangsa”.

Sementara itu Rissa menjelaskan motivasinya.

“Saya ingin menulis, karena ingin membagi pemikiran saya, pendapat saya dan gagasan saya kepada publik. Saya banyak menulis puisi dan esai tentang spiritualitas dan kebudayaan, terutama terkait dengan dunia perwayangan. Buku puisi saya yang terakhir berjudul Bisikan Tanah Penari, berkisah dengan kebudayaan kota kelahirannya, yaitu Banyuwangi. Kebudayaan dan Spiritualitas itu sesungguhnya menyatu dan mampu membuat kehidupan ini menjadi lebih baik.”

Sedangkan Nunung memiliki motivasi yang berbeda.

“Saya menulis untuk menyuarakan perspektif perempuan menghadapi berbagai persoalan sosial. Perempuan harus berani menyuarakan opini dan gagasannya, dari perspektif perempuan tentunya, supaya hidup ini menjadi lebih seimbang. Inilah yang menyebabkan banyak puisi saya berkisah tentang perempuan, baik posisinya di rumah tangga maupun di ranah sosial, mulai dari buku pertama sampai buku yang terakhir, Sumur Umur, yang menggambarkan bagaimana seorang perempuan melakukan kontemplasi dan refleksi jalan hidupnya.”

Ketiga sepakat, bahwa kata kunci dari semua itu adalah motivasi yang kuat, manajemen waktu yang baik, serta dukungan dari orang-orang tercinta terutama keluarga. Niatkan juga menulis itu sebagai ibadah, maka dia akan menjadi lebih indah.

Ketiga narasumber juga mengatakan, bahwa perempuan penyair harus mampu menulis puisi dengan tema sosial, budaya, kemanusiaan dan sebagainya. Jangan hanya terbelenggu dengan topik puisi engkau, aku, cinta, patah hati dan sebagainya.

Sementara itu Hudan Nur, seorang perempuan penyair dari Banjarbaru, Kalsel yang tampil sebagai penanggap dalam temuwicara tersebut mengatakan, bahwa persoalan perempuan penyair ini merata di Indonesia. Para perempuan penyair harus bangkit kembali untuk melahirkan karya-karya yang ruang lingkupnya lebih luas dan berani menyuarakan perspektifnya. Hudan yang juga Duta Baca di Prov. Kalsel itu, juga sangat mengepresiasi acara ini, karena dalam upaya memahami persoalan sosial, suara perempuan juga perlu didengarkan.

Demikian pula dengan penanggap lainnya, yaitu Lispa Nelli, seorang guru dari Pariaman dan Linda Zoebir, seorang aktivis literasi dari Bukittinggi, sepakat dengan ketiga narasumber, bahwa perempuan untuk meyakinkan dirinya bahwa semua bisa dilakukan dan motivasi tersebut harus tetap dijaga. (AP)

About The Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *