Jelang Akhir Tahun 2022, Kantor Hukum eL DIALOGIS Soroti Situasi dan Ragam Permasalahan Hukum
Jendralnews Karawang –
Belum enam bulan Kantor Hukum eL DIALOGIS berdiri di Karawang, sejumlah perkara ditangani, ada yang masih berjalan, dan telah selesai. Selain perkara hukum pidana, juga perdata, eL DIALOGIS aktif sebagai legal konsultan di beberapa perusahaan, menjadi legal praktisnya.
Mulai dari kasus penganiayaan wartawan oleh oknum ASN, harta waris dan KDRT serta penelantaran seorang WNI (warga Karawang) di Inggris, Eropa Barat. Kepala Kantor Hukum eL DIALOGIS, M Sony Adiputra, SH, bersama Maryadi, SH, kembali bertutur mengenai kondisi dan permasalahan hukum dalam sorotannya jelang akhir tahun 2022 ini. Terdapat harapan terhadap proses penegakan hukum di Karawang tentu saja. Maryadi jelaskan, soal kondisi hukum, masih terkesan tebang pilih.
“Dapat dikatakan hal ini terjadi pada kasus penganiayaan dan penculikan yang dialami dua orang wartawan senior (Zaenal dan Junot) di Karawang. Cukup tendensius karena berelasi pada kekuasaan,” ungkap Maryadi dalam rillisnya, Kamis (15/12).
Kepala Kantor Hukum eL DIALOGIS,
Sony pun ikut menandaskan, seyogyanya proses penegakan hukum tersebut jauh lebih transparan, akuntabel, dan obyektif profesional, tanpa intervensi dari penguasa. Mulai dari institusi kepolisian dan sudah jadi rahasia umum, seperti apa keadaannya di mata masyarakat kekinian.
Sony pun membeberkan berbagai hal. Berikutnya, beberapa sorotan masalah hukum di tingkat nasional terhadap beberapa institusi, semisal Mahkamah Agung (MA) RI. Dimana sejumlah Hakim Agung diduga terlibat dalam penerimaan suap. Hal ini menurutnya berbanding terbalik dengan situasi Hakim Agung yang sebetulnya penerima gaji yang cukup baik dan bergaji dari APBN.
Bahkan, karir yang sudah optimal, namun semua ukuran tersebut tergadaikan oleh uang sogokan. Yang tidak pantas, cacat, baik secara aturan, moril dan prinsip profesionalitas.
“Dapat kita saksikan, bebasnya sejumlah napi koruptor, yang seharusnya dimiskinkan. Dirampas harta hasil korupsinya, nyatanya kebebasan merekapun masih menunjukkan kemewahan di mata masyarakat. Artinya terdapat kegagalan dalam menciptakan penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan pidana khusus (Pidsus) tentang korupsi,” terang Soni.
Menurut Soni, baru-baru ini telah disyahkannya KUHP, pada 6 Desember 2022 lalu di DPR RI, amat disayangkan munculnya kontoversi dari sejumlah pasal yang disebut-sebut tidak berkeadilan. Dan merujuk pada pelanggaran HAM, terlalu jauh memasuki ranah privasi publik.
“Dalam hal ini cukup mengganjal jika memang pemerintah dan DPR RI hendak menyilahkan untuk mengkaji di ranah hukum Judicial Review (JR), justru hal tersebut menandakan kelemahan atas dasar-dasar berpikir, mengapa dalam proses pembuatannya tidak secara kritis dikaji agar tidak menimbulkan kontroversi hebat di negeri ini,” jelasnya.
Soni menuturkan, kalau mau dikatakan lebih kongkritnya, bahkan pada sejumlah pasal kontroversi tersebut, hal tersebut menunjukkan tanpa adanya logika hukum, filsafat hukum, dan kepastian hukum yang jelas.
“Kita ambil contoh, pasal 424 KUHPidana, pada situasi orang nongkrong di bar/diskotik misalnya. Ketika ada seseorang menawarkan, ataupun bahkan bartender, bisa dikenai Pidana. Padahal hal tersebut bukan delik Pidana. Artinya, pasal tersebut terlalu mengatur privasi masyarakat. Dan menciderai logika hukum pidana itu sendiri. Sekaligus ancaman nyata di sektor industri pariwisata di Indonesia.
Logika yang muncul, pada konteks di ruang tertentu (bar/diskotik), terdapat logika salah kaprah,” tandasnya.
Ia pun membeberkan, contohnya semacam logika transaksi narkoba. Si penjual/pengedar, atau yang menawarkan yang dianggap memenuhi unsur pidana. Si pemakai bebas untuk direhabilitasi. Si penjual yang menawarkan jelas dipidana.
“Jika kita telusur, hal mana yang dianggap berpotensi memabukkan seseorang dan menimbulkan dampak dan sebagainya (sudah diatur dalam KUHP). Terkhusus pada yang menawari, hal itu bukanlah bersifat pemaksaan. Dan kehendak bebas, azasi seseorang. Sekali lagi, artinya tidak sampai logika hukumnya,” ujarnya.
Lebih jauh Soni mengatakan, yang menjadi unsur pidana, tentu saja menyangkut adanya kerugian (materil dan non materil) oleh salah satu pihak yang dirugikan pelapor, dan terlapor. Maka pasal-pasal tersebut di atas, hanya menjadi kontroversi, tidak memiliki kepastian hukum yang jelas. Dan di dunia bahkan diketahui telah menimbulkan sikap protes PBB.
“Tidak hanya hal tersebut di atas, jagad hukum Nusantara digegerkan oleh berbagai kasus. Polisi tembak polisi. Pada kasus Sambo misalnya, masyarakat kita menyoroti tentang mahalnya harga sebuah keadilan. Dalam hal ini, institusi kepolisian, kejaksaan dan peradilan benar-benar diuji. Presiden RI Joko Widodo di awal masa jabatannya pernah menggaungkan tentang Revolusi Mental. Menjelang akhir periode setahun mendatang, kami melihat seluruh internal institusi penegakkan hukum di Indonesia diganjar apa yang yang disebut Revolusi Mental dalam menegakkan hukum saat ini. Apakah benar-benar akan manifes?,” Urainya.
“Dan menjawab tantangan perubahan jaman dalam tata laksana pro justicia dan bersandar pada prinsip perubahan mental sekaligus, Indonesia telah mendapat momentumnya. Kalau tidak dari sekarang, maka mimpi buruk pun akan terus menghantui proses penegakkan hukum agar tidak semakin jauh panggang dari api,” pungkasnya. (Red).