Jendela Tokoh & Opini

IMG-20241007-WA0012

Kritik Terkait “Poe Ibu”, Ketua PERADI Karawang Sebut Kebijakan Dedi Mulyadi Cacat Hukum

Asep Agustian, S.H., M.H., (Askun) Ketua PERADI Karawang

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Ketua DPC PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) Kabupaten Karawang, Asep Agustian, SH. MH ikut angkat bicara, terkait polemik Surat Edaran (SE) Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengenai gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) atau donasi Rp 1.000 per hari yang diberlakukan bagi ASN, lembaga pendidikan, pemerintahan desa hingga masyarakat umum.

‎Praktisi hukum yang akrab disapa Askun ini menegaskan, bahwa kebijakan Dedi Mulyadi ini cacat hukum, karena tidak memiliki dasar hukum aturan di atasnya. Sehingga ia meminta KDM segera mencabut surat edaran tersebut.

‎"Kebijakan ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Sehingga sulit pertanggungjawabannya, ketika nanti ditemukan masalah hukum (penyelewengan, red)," tutur Askun, Selasa (7/10/2025).

‎Askun mengaku memahami psikologis Dedi Mulyadi yang mulai kewalahan didatangi ratusan bahkan ribuan warga setiap harinya ke Lembur Pakuan-Subang untuk meminta bantuan. Namun demikian, jangan sampai solusi atas persoalan di Lembur Pakuan ini kemudian dibebankan kepada masyarakat secara umum.

‎"Ya itu resiko Dedi Mulyadi sebagai gubernur dan youtober yang selama ini selalu tampil dengan performa begitu di hadapan publik. Sehingga konsekuensinya dompet pribadi pun jadi boncos,"

‎"Tapi saya minta Kang Dedi Mulyadi tidak membebani masyarakat di luar pajak dan retribusi. Iya memang nominial donasinya kecil cuma Rp 1.000/hari. Tetapi ketika dikumpulkan dalam satu bulan, ya tetap akan membebani masyarakat kalangan bawah. Meski sifatnya sukarela, tetapi terkesan wajib karena dikoordinir RT/RW atas dasar Surat Edaran gubernur," katanya.

‎"Jangan sampai nanti Jabar Istimewa menjadi Jabar Miskin, karena menghimbau masyarakatnya 'udunan' di luar pajak dan retribusi," sindirnya.

‎Sarankan Rangkul Setiap Kepala Daerah untuk Membuat Posko Aduan Masyarakat

‎Dalam persoalan ini, Askun lebih setuju agar KDM merangkul semua kepala daerah di Jawa Barat untuk membuat posko aduan masyarakat di daerahnya masing-masing. Sehingga jangan sampai masyarakat yang memiliki kesulitan berdatangan langsung ke Lembur Pakuan.

‎Sehingga nantinya, posko aduan masyarakat di setiap daerah ini akan mendata setiap bentuk persoalan keluhan ekonomi warga, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan yang selama ini keluhannya sering disampaikan warga ke Lembur Pakuan.

‎"Dalam persoalan ini lebih baik dicari solusi lain. Tolong dong Kang Dedi Mulyadi baik-baik dengan para bupati/walikota, ajak mereka semua,"

‎"Jangan bentar-bentar masyarakat ngadu ke KDM. Pada akhirnya bupati/walikota di setiap daerah di-bully, karena dianggap tidak peduli kepada masyarakatnya. Saya juga tidak mau Bupati Karawang dibegitukan oleh masyarakat," kata Askun.

‎Adat Istiadat dan Budaya Tak Harus Selalu Diatur Pemerintah

‎Terakhir, Askun menegaskan agar KDM segera mencabut Surat Edaran kebijakan Poe Ibu ini. Karena menurutnya, tidak semua adat istiadat, budaya maupun kebiasaan masyarakat harus selalu diatur pemerintah.

‎"Biarlah budaya gotong royong masyarakat mengenai rereongan untuk membantu sesama masyarakat ini berjalan dengan sendirinya, tidak perlu diatur dalam bentuk Surat Edaran gubernur. Karena nanti nilai dan kesannya akan berbeda. Yang awalnya bersifat sukarela, tiba-tiba terkesan wajib karena adanya Surat Edaran gubernur," katanya.

‎"Lagian jika surat edaran ini diberlakukan, saya kira akan membuat peluang perilaku korupsi baru di masyarakat. Lebih baik budaya rereongan ini berjalan normatif saja seperti biasanya. Jangan bebani lagi masyarakat di luar pajak dan retribusi," tandas Askun. (red)*

IMG-20251001-WA0047

Resmi Mengundurkan Diri, Waya Sudah Tak di Kidung Karawang

Yus Sunarya (Pimprus Kidung Karawang)

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Menyikapi pemberitaan media online yang melarang adanya seorang ASN rangkap jabatan dengan menjadi Pimpinan Redaksi surat kabar tabloid, Yus Sunarya selaku Pimpinan Perusahaan Tabloid Kidung Karawang beserta Dewan Redaksi Kidung Karawang mengambil sikap untuk mencopot Waya dari Pimpinan Redaksi Tabloid Kidung Karawang yang juga seorang ASN di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Karawang.

‎Kepada media Yus Sunarya mengatakan bahwa hal tersebut dilakukan agar kesalahan yang di lakukan tidak berlarut-larut.

‎"Sebenarnya Waya walaupun di Kidung Karawang dulu ditunjuk sebagai Pimpinan Redaksi akan tetapi tidak pernah menyalah gunakan jabatan dalam posisi sebagai ASN, karena selama ini Kidung Karawang tidak pernah mendapatkan fasilitas keuntungan apapun di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan," ungkapnya. Rabu (1/10/25).

‎"Kidung Karawang itu keseluruhan isi pemberitaannya berasal dari Diskominfo, adapun kami mengangkat Waya sebagai Pemred, semuanya bermula karena kami sama-sama orang yang aktif di bidang pelestarian budaya Karawang. Dan apabila hal tersebut di rasa salah, makanya kami beserta Dewan Redaksi Kidung Karawang bersepakat untuk mencopot Waya dari posisi Pimpinan Redaksi Tabloid Kidung Karawang," bebernya.

‎Sementara itu, Ketika Waya dikonfirmasi awak media, dirinya menyatakan apabila memang di anggap salah ketika menjabat sebagai Pimpinan Redaksi di salah satu tabloid dan bertabrakan dengan status sebagai ASN, dirinya menyatakan mulai saat ini mundur dari Tabloid Kidung Karawang. (NN)*

IMG-20250930-WA0027

Gelar Rapat Konsolidasi, Dewan Pembina AMKI Karawang Berikan Arahan Penting

Jajaran Pengurus AMKI Karawang

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Kabupaten Karawang menggelar rapat konsolidasi perdana di Aula Rumah Makan Sambel Hejo, Kelurahan Karangpawitan, Kecamatan Karawang Barat, Selasa (30/9/25).

‎Rapat dihadiri jajaran pengurus harian, Dewan Penasihat, Dewan Pembina, Dewan Pengawas, serta anggota AMKI Karawang.

‎Dewan Pembina AMKI Karawang, Asep Agustian, SH., MH., atau yang akrab disapa Askun, menegaskan pentingnya semangat kolektif dalam menghidupkan organisasi.

‎“Semua anggota harus punya spirit yang sama untuk menghidupkan organisasi, bukan numpang hidup di organisasi,” tegas Askun.

‎Askun juga menekankan perlunya keberadaan kantor atau sekretariat sebagai basis kegiatan organisasi.

‎“Kantor atau sekretariat itu salah satu hal yang harus ada ketika berorganisasi. Di sana akan menjadi tempat menyusun program kerja dan bertarungnya ide serta gagasan,” jelasnya.

‎Tak hanya itu, ia mengingatkan pentingnya perlindungan risiko kerja bagi anggota AMKI.

‎“Semua anggota harus mendapatkan perlindungan terhadap risiko kecelakaan maupun kesehatan. Nanti ketua harus mendaftarkan semua anggota ke BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan bagi yang belum punya,” papar Askun.

‎Di akhir arahannya, Askun meminta seluruh anggota solid serta patuh pada keputusan organisasi.

‎“Percayalah kepada pengurus, jalankan keputusan organisasi dengan sepenuh hati. Jika semua anggota solid, bukan tidak mungkin AMKI akan menjadi organisasi media yang layak diperhitungkan,” tutupnya. (red)*

IMG-20250923-WA0025

Gelar Kunjungan ke BBWS Citarum, AMKI Jabar Siap Perkuat Kolaborasi dan Jalin Sinergitas

Ketua dan Sekretaris AMKI Jabar bersama Kepala BBWS Citarum

Jendela Jurnalis Bandung, JABAR - Pengurus Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Jabar melakukan kunjungan silaturahmi ke kantor BBWS CITARUM, di Cipamokolan - Kota Bandung,  pada Selasa (23/9/2025) pagi.

‎Kunjungan ini merupakan bagian dari upaya memperkuat kolaborasi dan menjalin sinergitas antara Pengurus AMKI Jabar dengan BBWS Citarum.

‎Rombongan dipimpin langsung oleh Ketua AMKI Jabar, Catur Azi, didampingi Sekretaris Jenderal Eko Junanto. Mereka disambut hangat oleh Kepala BBWS Citarum.

‎Pada kesempatan itu, Kepala BBWS Citarum, Marasi Deon Joubert, S.T., MPSDA, di sela-sela diskusi dengan Pengurus AMKI Jabar menyampaikan terkait dengan Program-program BBWS Citarum tahun 2025, berfokus pada dukungan terhadap ketahanan pangan nasional melalui peningkatan infrastruktur irigasi, khususnya melalui Program P3-TGAI (Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi) dan proyek SIMURP.

‎Selain itu, BBWS Citarum juga sedang mensosialisasikan dan menjalankan berbagai pekerjaan fisi 21k di lapangan sesuai arahan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2025 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. 

‎Program Utama

‎• Program P3-TGAI (Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi) : Program ini bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan manfaat jaringan irigasi, serta menambah luasan areal pertanian dengan melibatkan petani pemakai air dalam pelaksanaan swakelola. 

‎• Proyek SIMURP (Strategic Irrigation Modernization and Urgent Rehabilitation Project) : Proyek yang didanai oleh Bank Dunia ini bertujuan memodernisasi dan merehabilitasi sistem irigasi yang ada di daerah irigasi terpilih, seperti di D.I. Jatiluhur. 

‎Program dan Kegiatan Lainnya

‎• Implementasi Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2025 :  Terkait dengan Percepatan Pembangunan, Peningkatan, Rehabilitasi, Serta Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi untuk Mendukung Swasembada Pangan.
‎ 
‎• Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur Air : Meliputi pembangunan siphon dan kantong lumpur untuk meningkatkan pasokan air irigasi di wilayah sungai. 

‎• Monitoring dan Evaluasi Progres : BBWS Citarum secara rutin memantau dan mengevaluasi kemajuan program-program di Tahun Anggaran 2025 untuk memastikan pelaksanaan berjalan sesuai target. 
‎Tujuan dan Arah Program 2025.

‎• Memperkuat Ketahanan Pangan : Semua program diarahkan untuk meningkatkan ketersediaan dan kecukupan pangan melalui pengelolaan air yang optimal. 

‎• Meningkatkan Perekonomian : Perbaikan infrastruktur irigasi diharapkan mendukung aktivitas ekonomi dan mendorong pemerataan pembangunan. 

‎• Menjaga Kesejahteraan Masyarakat : Kesejahteraan masyarakat terus menjadi fokus utama, seiring dengan upaya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan. Pungkas Kepala BBWS CITARUM.

‎Sementara itu, Ketua AMKI Jabar, Catur Azi, menyampaikan ucapan  terimakasih kepada Kepala BBWS Citarum yang telah menyempatkan waktunya untuk berdiskusi dengan Pengurus AMKI Jabar, silaturahmi ini bukan sekadar temu kangen, bahwa pertemuan ini menjadi pijakan penting bagi pengembangan program kolaboratif di masa mendatang.

‎AMKI siap bersinergi dan memberikan kontribusi positif serta mendukung dan mensupport program-program Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.

‎“Kami berharap, dari silaturahmi ini lahir berbagai inisiatif yang mampu memperkuat peran media konvergensi sebagai pilar informasi yang kredibel dan inovatif,” pungkasnya. (red)*

IMG-20250914-WA0025

F-BUMINU SARBUMUSI: Permen Nomor 17 P2MI/BP2MI Terindikasi sebagai  Penyalahgunaan Wewenang

Aktifitas calon pekerja migran yang tengah mengikuti tahapan pembelajaran dan pelatihan

Jendela Jurnalis JAKARTA - Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, menilai terbitnya Peraturan Menteri KP2MI/BP2MI No. 17 Tahun 2025 tentang Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) merupakan sebuah bentuk akrobat hukum yang berbahaya bagi perlindungan PMI. Aturan baru ini mencabut Keputusan Kepala Badan P2MI No. 9 Tahun 2020 yang sebelumnya menegaskan kebijakan pembebasan biaya penempatan PMI.

‎“Kalau dulu PMI tidak bisa dibebani biaya penempatan, sekarang justru sebaliknya, mereka dapat dibebani biaya penempatan oleh P3MI bekerjasama dengan agensi asing di negara penempatan. Ini jelas kebijakan jungkir balik,” tegas Ali Nurdin saat dimintai tanggapan, Minggu.

‎Menurutnya, substansi aturan baru itu bertentangan dengan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI yang menyebutkan secara eksplisit: “Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan.”

‎Ali Nurdin mengkritik keras langkah Kepala KP2MI/BP2MI yang berdalih melaksanakan Pasal 30 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2017. “Dalih itu dijadikan alasan untuk membuka norma baru berupa pengecualian, sehingga PMI justru bisa dibebani biaya penempatan. Artinya, norma hukum tidak dapat tiba-tiba diubah menjadi dapat. Ini akrobat hukum yang nyata-nyata memutarbalikkan undang-undang,” ujarnya.

‎Ia menilai regulasi tersebut bukan hanya cacat secara yuridis, tetapi juga berpotensi melahirkan praktik koruptif. “Ini jelas kebijakan yang sarat kepentingan, bahkan bisa dikategorikan sebagai kebijakan koruptif. Apabila Peraturan ini tidak dicabut kami akan melalukan Judicial review yang paling pas untuk membatalkan aturan itu. Selain itu, pelaporan ke KPK juga memungkinkan, karena ada indikasi penyalahgunaan kewenangan,” katanya.

‎Ali Nurdin mengaku optimistis bahwa Permen KP2MI/BP2MI No. 17 Tahun 2025 akan dinyatakan bertentangan dengan UU No. 18 Tahun 2017 jika diuji secara hukum. “Saya percaya judicial review akan mengembalikan norma sebagaimana amanat undang-undang, sehingga aturan ini akhirnya dicabut,” ujarnya. Lebih jauh, Ali juga menyebut bahwa akrobat hukum ini adalah produk kebijakan dari Menteri KP2MI/BP2MI sebelumnya, yang kini telah di Reshuffle. “Masih ada peluang untuk melakukan pendekatan kepada menteri yang baru agar aturan ini segera ditinjau ulang,” tambahnya.

‎Ali Nurdin menegaskan bahwa perjuangan untuk mengembalikan kebijakan pembebasan biaya penempatan PMI tidak boleh berhenti. Federasi Buminu Sarbumusi bersama organisasi masyarakat sipil lainnya siap melakukan perlawanan. “Kawan-kawan OMS juga akan bergerak. Kita sedang berjuang agar pembebasan biaya benar-benar diimplementasikan, bukan malah ditarik mundur dengan regulasi seperti ini,” pungkasnya. (Pim)*

IMG-20250904-WA0096

Konfederasi Sarbumusi dan Koalisi Serikat Buruh Merah Putih: Buruh di Persimpangan, Krisis Nasional

Konfederasi Sarbumusi dan Koalisi Serikat Buruh Merah Putih

Jendela Jurnalis JAKARTA - Di tengah riuh rendah politik dan guncangan ekonomi, suara buruh kembali menggema. Bukan sekadar dalam teriakan demonstrasi di jalan, tetapi lewat pernyataan sikap resmi yang menandai lahirnya Koalisi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Merah Putih. Koalisi ini, gabungan lima konfederasi nasional dan 56 federasi buruh strategis, muncul sebagai respon atas dinamika sosial-ekonomi yang semakin tak menentu.

‎Irham Ali Saifuddin Presiden Konfederasi menyatakan bahwa Pernyataan bahwa sikap yang di keluarkan dan di tandatangani ini terasa lebih dari sekadar daftar tuntutan. ini adalah peta jalan baru gerakan buruh di Indonesia, yang berdiri di persimpangan antara dukungan terhadap agenda pembangunan Presiden Prabowo Subianto dan kritik tajam terhadap arah kebijakan ketenagakerjaan. Ujar Irham dalam Konfrensi Pers 3/9/2025 di Jl. erlangga Jakarta selatan.
‎*Berikut Pernyataan Koalisi Serikat Buruh Serikat Pekerja Merah Putih yang ditandatangan 5 Presiden Konfederasi yang mewakili dari 56 Federasi:*

‎1. Kami menyatakan duka cita dan keprihatinan atas gangguan sosial ekonomi yang berdampak luas terhadap dunia ketenagakerjaan akhir-akhir ini, termasuk di dalamnya perusakan fasilitas umum, penangkapan demonstran dan bahkan gugurnya kawan-kawan pekerja dan demonstran. Kami meminta Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk memulihkan situasi nasional, mengusut tuntas dalang kerusuhan dan membebaskan aktivis;
‎2. Terkait dengan pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan 4 (empat) pimpinan konfederasi serikat buruh/serikat pekerja beberapa hari yang lalu, Kami menyatakan bahwa mereka bukanlah representasi seluruh serikat buruh/serikat pekerja yang ada di Indonesia karena Kami tidak pernah menitipkan aspirasi kepada mereka.
‎3. Kami mendukung asta cita presiden Prabowo Subianto untuk menciptakan 19 (Sembilan belas) juta lapangan pekerjaan.
‎4. Kami meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan Satgas PHK mengingat potensi tumpang tindih kelembagaan ketenagakerjaan serta memperkuat seluruh lembaga tripartit yang ada dibawah Presiden RI dan mendorong pembentukan lembaga tripartit sektoral dan lembaga penciptaan lapangan kerja serta lebih meningkatkan penguatan peran dari Kementerian Ketenagakerjaan. Kami meminta pemerintah untuk mempertimbangkan efesiensi anggaran dan redudansi kewenangan;
‎5. Dalam hal revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dibahas, Kami meminta pemerintah dan DPR agar mengedepankan aspek-aspek transparansi, dialog sosial, partisipasi dan inklusivitas;
‎6. Kami meminta pemerintah untuk melakukan reformasi kebijakan, tatakelola, pelayanan dan kelembagaan jaminan sosial (BPJS Ketenagakerjaan) sehingga lebih inklusif, universal dan melindungi kelas pekerja/buruh secara optimal;
‎7. Kami meminta pemerintah untuk melakukan reformasi penetapan upah minimum Indonesia dengan mengutamakan pendekatan sektoral dan memperkecil kesenjangan upah minimum antar daerah;
‎8. Kami mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Pertekstilan guna melindungi sektor industri padat karya.

Luka Sosial dan Duka Buruh

‎Poin pertama pernyataan Koalisi adalah duka cita. Luka sosial akibat kerusuhan, perusakan fasilitas umum, hingga jatuhnya korban dari kalangan pekerja dan demonstran menjadi catatan serius. Sejarah mencatat, buruh selalu berada di garis depan benturan sosial: dari perlawanan era kolonial, mogok massal di awal Orde Baru, hingga demonstrasi menolak Omnibus Law pada 2020. Kini, mereka kembali merasakan represi—penangkapan aktivis dan pembungkaman suara kritis.

‎Koalisi menegaskan, negara tidak boleh menjadikan buruh sebagai tumbal stabilitas. Justru negara harus hadir untuk melindungi, memulihkan, dan memastikan keadilan.

‎Pertemuan Elitis dan Representasi yang Dipertanyakan

‎Dalam sejarahnya, gerakan buruh di Indonesia kerap terbelah. Pertemuan Konfederasi Sarbumusi dengan empat pimpinan konfederasi ini memantik kritik tajam: siapa yang berhak mengatasnamakan buruh? Koalisi Merah Putih menolak klaim representasi tunggal.

‎Ini mengingatkan pada praktik masa Orde Baru, ketika negara cenderung menunjuk organisasi buruh resmi sebagai “mitra dialog”, sementara suara alternatif ditekan. Perdebatan soal legitimasi representasi inilah yang kini kembali menyeruak.

‎Janji 19 Juta Lapangan Kerja

‎Dukungan Koalisi terhadap Asta Cita Presiden Prabowo, khususnya target menciptakan 19 juta lapangan kerja, menunjukkan ambivalensi gerakan buruh. Di satu sisi, buruh adalah kelompok yang paling membutuhkan kepastian kerja; di sisi lain, janji politik semacam ini sering kali berhenti sebagai retorika.

‎Sejarah mencatat bagaimana janji peningkatan kesejahteraan buruh selalu diulang sejak era Soekarno hingga Jokowi, namun realisasinya penuh kompromi. Koalisi Merah Putih memilih dukungan kritis: menerima janji itu, tetapi dengan catatan bahwa implementasi harus nyata.

‎Lembaga Baru atau Beban Baru?

‎Rencana pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan Satgas PHK menjadi sorotan tajam. Bagi Koalisi, ini bukan solusi, melainkan potensi beban. Indonesia sudah punya mekanisme tripartit yang melibatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah. Menambah lembaga baru justru dikhawatirkan memperlemah peran Kementerian Ketenagakerjaan dan menghabiskan anggaran tanpa efektivitas nyata.

‎Pernyataan ini mencerminkan kritik klasik terhadap birokratisasi gerakan buruh: alih-alih memberdayakan, pemerintah justru menciptakan struktur yang mempersulit koordinasi.

‎UU Ketenagakerjaan: Luka Lama yang Belum Sembuh

‎Revisi UU Ketenagakerjaan kini menjadi panggung baru tarik-menarik kepentingan. Koalisi menegaskan bahwa proses legislasi harus transparan, partisipatif, dan inklusif. Ini mengingatkan pada trauma Omnibus Law 2020, yang disahkan di tengah malam tanpa partisipasi publik luas, dan memicu demonstrasi besar-besaran.

‎Gerakan buruh belajar dari pengalaman itu: tanpa keterbukaan, hukum hanya akan menjadi alat legitimasi penguasa dan pemodal.

‎BPJS dan Reformasi Kesejahteraan

‎Di luar isu hukum, perhatian Koalisi juga tertuju pada BPJS Ketenagakerjaan. Lembaga yang seharusnya menjadi penopang jaminan sosial justru dipandang masih elitis dan eksklusif. Reformasi tata kelola, pelayanan, hingga perluasan perlindungan menjadi tuntutan mendesak.

‎Bagi buruh, jaminan sosial bukan sekadar angka premi, melainkan jaminan hidup layak di tengah ketidakpastian.

‎Upah Minimum: Jurang yang Melebar

‎Sistem upah minimum di Indonesia saat ini dianggap menciptakan jurang antar daerah. Buruh di kota industri besar menerima upah jauh lebih tinggi dibandingkan pekerja di daerah lain, meski beban kerja sering kali sama. Koalisi menawarkan jalan keluar: sistem sektoral, yang menghitung kebutuhan berdasarkan jenis industri, bukan sekadar wilayah administratif.

‎Ini adalah gagasan progresif, meski penuh tantangan implementasi, terutama menghadapi resistensi pengusaha.

‎Industri Tekstil di Ujung Tanduk

‎RUU Pertekstilan menjadi penutup pernyataan Koalisi, namun justru yang paling mendesak. Industri ini mempekerjakan jutaan buruh, mayoritas perempuan, namun kini rapuh menghadapi arus impor murah dan ketidakpastian pasar global.

‎Perlindungan melalui regulasi dinilai mutlak. Tanpa itu, industri tekstil—yang sejak lama dikenal sebagai padat karya penyerap tenaga kerja terbesar—bisa runtuh, dan jutaan buruh kehilangan pekerjaan.

‎Gerakan Buruh di Era Prabowo

‎Pernyataan Koalisi Merah Putih adalah cermin dilema gerakan buruh hari ini: antara mendukung agenda pembangunan nasional dan mengawal kepentingan kelas pekerja. Sejarah menunjukkan, buruh selalu menjadi aktor penting dalam perubahan politik Indonesia: dari 1965, Reformasi 1998, hingga penolakan Omnibus Law.

‎Kini, di era Prabowo, buruh kembali bersuara. Dengan formasi koalisi besar, mereka berupaya menghindari kooptasi politik dan menyuarakan posisi independen.

‎Pertanyaannya: apakah suara ini akan didengar, atau kembali dikubur dalam jargon stabilitas nasional?

‎(ALN)*

IMG-20250818-WA0106

Kisah Pilu di Negeri Orang: Perempuan dengan Empat Anak Terjebak di Arab Saudi, Ingin Pulang ke Indonesia‎

Siti dan keempat anaknya

Jendela Jurnalis NASIONAL - Jalan hidup pekerja migran Indonesia (PMI) tak selalu diwarnai kesuksesan. Ada yang berhasil membawa pulang rezeki untuk keluarga, namun tak sedikit yang terjerat dalam kisah memilukan. Itulah yang kini dialami Siti, PMI asal Lombok Tengah, bersama keempat anaknya yang masih kecil, terkatung-katung di Arab Saudi tanpa kepastian bisa kembali ke tanah air.

‎Perjalanan Panjang Menjadi PMI

‎Siti berangkat ke Arab Saudi pada 2011 melalui PT. Milenium Muda Makmur. Namun nasibnya tak seindah harapan. Ia ditempatkan pada majikan yang kerap menunda bahkan sulit membayar gaji. Setelah bekerja 18 bulan dengan kondisi penuh tekanan, Siti akhirnya memutuskan kabur untuk mencari pekerjaan lain.

‎Di tanah rantau itu, Siti bertemu Jumaetawan, pria asal Lombok Tengah yang lebih dulu berangkat ke Arab Saudi pada 2006 melalui PT. Karya Pesona. Awalnya, Jumaetawan bekerja resmi sebagai sopir dengan kontrak tiga tahun. Namun setelah kontraknya tidak diperpanjang, ia memilih tetap bekerja di Saudi dengan status PMI non-dokumen.

‎Pertemuan keduanya berujung pada pernikahan di tahun 2013. Dari pernikahan itu, lahirlah empat orang anak:

‎1. Zammalik Zumartha (2015)

‎2. Fawaz Khairil Zumartha (2018)

‎3. Neysha Marwah Zumartha (2022)

‎4. Kaisar Patynama Zumarthan (2024)


‎Hingga awal 2025, kehidupan keluarga kecil itu masih berjalan cukup baik. Meski serba terbatas, kebutuhan sehari-hari anak-anaknya tercukupi.

‎Awal Penderitaan: Suami Dideportasi

‎Kebahagiaan itu berubah drastis pada Februari 2025, ketika Jumaetawan ditangkap aparat Arab Saudi karena melanggar keimigrasian. Statusnya sebagai pekerja non-dokumen membuat ia tak berdaya menghadapi proses hukum. Pada Maret 2025, ia resmi dideportasi ke Indonesia.

‎Namun kepulangan Jumaetawan ke tanah air bukanlah kebahagiaan. Sebab istri dan keempat anaknya masih tertahan di Arab Saudi. Tanpa dokumen resmi, mereka kesulitan untuk keluar, meski sudah empat kali mendatangi Tarhil Sumaisi—pusat penampungan deportasi Arab Saudi. Setiap kali, permohonan mereka ditolak.

‎Sejak itu, kehidupan Siti dan anak-anaknya makin terpuruk. Tanpa suami sebagai tulang punggung keluarga, mereka kehilangan sumber penghasilan. Kontrakan rumah tak lagi terbayar hingga akhirnya diusir oleh pemilik. Untuk bertahan hidup, mereka hanya bisa mengandalkan belas kasih dan bantuan seadanya.

‎“Untuk makan saja sulit, tempat tinggal tidak ada lagi. Kami hanya ingin bisa pulang ke Indonesia,” tutur Siti dalam kesaksiannya.

‎Negara Abai, Serikat Buruh Bergerak

‎Harapan Siti sempat tertuju pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah, sebagai perwakilan negara. Namun hingga kini, ia mengaku tidak pernah mendapat tanggapan yang memadai.

‎Di tengah keputusasaan itu, Dewan Pengurus Cabang Luar Negeri (DPCLN) Sarbumusi Jeddah turun tangan. Ketua DPCLN, Zakaria, langsung menemui Siti dan anak-anaknya untuk mendengar langsung kesulitan mereka.

‎“Kami sudah komunikasi dengan Sarbumusi Pusat. Memang tidak bisa menjanjikan pasti, tapi kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu Siti dan anak-anaknya,” ujar Zakaria.

‎Harapan Pulang ke Tanah Air

‎Kisah Siti bukanlah satu-satunya. Ribuan PMI masih menghadapi nasib serupa: hidup dalam ketidakpastian, bekerja tanpa dokumen, hingga terjebak masalah hukum di luar negeri. Namun kisah ini menjadi potret nyata betapa rentannya pekerja migran yang lemah perlindungan.

‎Kini, Siti hanya punya satu harapan: bisa kembali ke tanah air bersama keempat buah hatinya. Sebab di Indonesia, suaminya menanti dengan penuh kerinduan.

‎“Yang kami butuhkan hanya pulang. Kami ingin berkumpul kembali sebagai keluarga di kampung halaman,” ucapnya lirih. (ALN)*

IMG-20250817-WA0280

Dari Mantan TKI ke Pelopor Desa Wisata Hanjeli Hingga Jadi Pahlawan Pangan Lokal

Asep Hidayat Mustopa saat menerima SVARNA BHUMI AWARD

Jendela Jurnalis Sukabumi, JABAR - Asep Hidayat Mustopa, kelahiran 1978, adalah sosok mantan tenaga kerja migran (TKI) asal Sukabumi yang merajut mimpi besar dari tanah kelahirannya. Pada 2007, ia diberangkatkan ke Arab Saudi setelah lulus seleksi dan mengasah keahliannya di bidang kaligrafi dan Bahasa Arab—kemampuan yang telah diperolehnya sejak mondok di pesantren .

‎Selama dua tahun bekerja di Galeri Kaligrafi Maktabah El-Manar di Zulfi, Asep memperoleh pengalaman dan jaringan yang memperkuat keyakinannya: bahwa keahlian dan seni bisa berkembang menjadi karya yang membanggakan di Indonesia . Kembalinya ia ke tanah air pada 2009, memulai perjalanan baru: menekuni dunia kaligrafi secara mandiri, sekaligus menjalankan kuliah terbuka di Universitas Terbuka .

‎*Berawal dari Rindu Kampung, Hingga Menemukan Hanjeli*

‎Usai kembali ke kampung halaman, Asep melakukan semacam "ekspedisi" keliling Sukabumi, mengamati potensi lokal—khususnya kuliner dan produk pangan. Ia sempat menjual beras merah, beras hitam, madu—hingga akhirnya jatuh cinta pada hanjeli, tanaman lokal yang hampir tenggelam dalam lupa .

‎Ia menemukan bahwa hanjeli telah lama dibudidayakan oleh masyarakat Waluran secara turun-temurun, bahkan menjadi bagian tradisi dalam hajatan dan pernikahan setempat . Kehadiran hanjeli sebagai pangan lokal yang kaya gizi membuka kesempatan untuk membangkitkan identitas dan ketahanan pangan daerah.

‎*Menghidupkan Kembali HanJeli Lewat Desa Wisata Hanjeli*

‎Gagasan membudidayakan hanjeli berkembang menjadi Desa Wisata Hanjeli di Desa Waluran Mandiri, Kecamatan Waluran, Kabupaten Sukabumi. Melalui desa wisata ini, Asep bersama masyarakat, khususnya ibu rumah tangga dan mantan TKI, mengolah hanjeli menjadi produk bernilai tambah seperti tepung, rengginang, dan nasi liwet. Mereka juga menjadi pemandu wisata edukasi, sekaligus pelestari warisan lokal .

‎*Penghargaan Bergengsi sebagai Bukti Komitmen*

‎Perjalanan panjang selama lebih dari satu dekade membuahkan hasil. Pada tahun 2023, Asep dianugerahi Kalpataru, penghargaan tertinggi bidang lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kategori Perintis Lingkungan .

‎Lebih jauh, pada tahun 2024, Desa Wisata Hanjeli meraih Gold Award Responsible Tourism Asia Tenggara di Sarawak, Malaysia. Penghargaan ini merupakan pengakuan atas penerapan pariwisata bertanggung jawab yang berpijak pada sumber daya lokal dan pemberdayaan masyarakat .

‎Kini, pada momen Hari Kemerdekaan RI ke-80 (17 Agustus 2025), Asep kembali menghadirkan kebanggaan: menerima Svarna Bhumi Award 2025 sebagai Pahlawan Pangan Tingkat Nasional, lewat program Kick Andy Metro TV yang digelar bersama PT Pupuk Indonesia . Di acara yang berlangsung pada 15 Agustus 2025 di Studio Grand Metro TV, Jakarta Barat, Asep menyampaikan rasa syukur dan berharap penghargaan ini bisa membuka peluang konkret bagi Sukabumi untuk mengenalkan hanjeli secara lebih luas .

‎*Sosok yang Meretas Nasib melalui Ketekunan dan Cinta Tanah Air*

‎Asep Hidayat Mustopa adalah contoh nyata bahwa perjuangan panjang penuh kesabaran dan dedikasi dapat menumbuhkan dampak sosial yang besar. Statusnya sebagai mantan TKI bukan halangan; justru menjadi fondasi dalam mencintai kearifan lokal dan memperjuangkan ketahanan pangan daerah.

‎Kini, hanjeli tidak lagi sekadar tanaman marginal, melainkan simbol martabat Sukabumi dan Jawa Barat. Melalui usahanya di Desa Wisata Hanjeli, Asep menyatukan pemberdayaan perempuan, pelestarian lingkungan, dan penguatan ekonomi lokal, semua berpadu dalam semangat merdeka dan mandiri pangan.

‎*Paparan dan Ringkasan Apresiasi Publik*

‎Tahun Prestasi / Penghargaan

‎2023 Kalpataru—Kategori Perintis Lingkungan (KLHK)
‎2024 Gold Award Responsible Tourism Asia Tenggara (Malaysia)
‎2025 Svarna Bhumi Award 2025 – Pahlawan Pangan Nasional (Kick Andy MetroTV & Pupuk Indonesia)

‎*Inspirasi untuk Generasi dan Daerah Lain*

‎Alhamdulillah, perjalanan Asep Hidayat Mustopa adalah kisah tentang ketekunan, kolaborasi, dan cinta tanah air. Prestasinya tidak hanya milik dirinya, tetapi milik masyarakat Sukabumi, para petani, UMKM, akademisi, dan semua yang terlibat dalam pelestarian hanjeli.

‎Semoga kisahnya menjadi inspirasi bahwa merdeka sejati berarti juga merdeka dalam pangan, mandiri dengan kekayaan bumi sendiri, bangga dengan jati diri bangsa, dan terus berkarya dengan penuh cinta untuk Indonesia. (ALN)*

IMG-20250817-WA0086(1)

SPPI Gaungkan Perlindungan Nelayan Migran di Forum Internasional Stella Maris Batam

Ilyas Pangestu, Ketum SPPI (kiri)

Jendela Jurnalis Batam, KEPRI - Serikat Pekerja Perikanan Indonesia (SPPI) kembali menunjukkan perannya sebagai kekuatan strategis dalam memperjuangkan hak-hak pelaut dan nelayan migran Indonesia. Organisasi ini menjadi salah satu peserta penting dalam Pertemuan Regional Jaringan Katolik Scalabrinian Stella Maris yang berlangsung di Golden View Hotel, Batam, Kepulauan Riau, pada 11–15 Agustus 2025.

‎Forum bergengsi ini mempertemukan delapan direktur Stella Maris dari tiga benua, perwakilan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Provinsi Kepulauan Riau (BP3MI Kepri), serta berbagai pemangku kepentingan global yang peduli terhadap nasib pelaut dan nelayan migran.

‎Mengusung misi memperkuat perlindungan, pelayanan, dan peningkatan kesejahteraan, forum ini juga menyoroti dukungan bagi keluarga pekerja yang ditinggalkan di tanah air—sosok-sosok yang kerap menjadi penopang utama perekonomian daerah.

‎SPPI Pamerkan Capaian dan Kolaborasi Internasional

‎Ketua Umum SPPI, Ilyas Pangestu, dalam paparannya menyampaikan perkembangan organisasi, strategi perlindungan anggota, serta capaian kerja sama internasional. Hingga kini, SPPI telah menghimpun lebih dari 23.000 anggota terdaftar dari berbagai daerah di Indonesia.

‎“SPPI berkomitmen memperjuangkan hak-hak pelaut dan nelayan Indonesia di mana pun mereka bekerja. Kolaborasi dengan pihak internasional dan pemerintah menjadi kunci dalam menciptakan perlindungan yang nyata,” tegas Ilyas.

‎Ia juga menambahkan bahwa SPPI aktif menjalin Nota Kesepahaman (MoU) dengan sejumlah asosiasi pemberi kerja di luar negeri. Menurutnya, langkah ini terbukti memberikan dampak positif dalam memastikan jaminan perlindungan serta pemenuhan hak-hak pekerja.

‎Pemerintah Perkuat Tata Kelola Penempatan

‎Dari pihak pemerintah, Yayan Hernuryadin, Direktur Penempatan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran BP2MI, menegaskan komitmen negara dalam memperkuat perlindungan pekerja migran melalui regulasi dan tata kelola yang lebih baik.

‎“Kami berkomitmen memperkuat perlindungan pekerja migran melalui perbaikan regulasi, tata kelola yang lebih baik, rekrutmen yang adil, dan peningkatan kesejahteraan. Berdasarkan data KP2MI, Taiwan menjadi negara tujuan utama dengan 4.139 penempatan pada tahun 2024,” ujar Yayan.

‎Dari wilayah Kepulauan Riau, Kepala BP3MI Kepri, Imam Riyadi, juga melaporkan adanya peningkatan signifikan penempatan awak kapal niaga pada 2025. Hal ini didukung oleh program strategis, mulai dari pengawasan ketat, bantuan hukum, pemulangan, hingga program kesejahteraan bagi pekerja migran.

‎“Kami terus berupaya memastikan pelaut dan nelayan migran Indonesia mendapatkan perlindungan maksimal. Mulai dari proses keberangkatan hingga kembali ke tanah air, semua kami dukung dengan program yang terstruktur,” ungkap Imam.

‎Ia menekankan bahwa kerja sama lintas negara, digitalisasi data, serta perluasan cakupan jaminan sosial merupakan pilar utama untuk memastikan kondisi kerja yang adil.

‎Forum Internasional: Dari Asia hingga Amerika Latin

‎Forum semakin dinamis ketika perwakilan pusat pelayanan Stella Maris dari berbagai negara—mulai dari Manila, Brasil, Panama, Uruguay, Taiwan, hingga Italia—berbagi pengalaman mendampingi pelaut migran. Berbagai kisah advokasi hukum, bantuan darurat, hingga dukungan spiritual menjadi catatan penting dalam memperkuat solidaritas global.

‎SPPI: Garda Terdepan Perlindungan Nelayan Migran

‎Melalui forum ini, SPPI menegaskan perannya sebagai garda terdepan dalam memperjuangkan kesejahteraan pelaut dan nelayan migran Indonesia. Sinergi antara organisasi pekerja, pemerintah, dan jaringan internasional diharapkan menciptakan sistem perlindungan yang kokoh dan berkelanjutan.

‎“Kerja sama internasional, sistem data yang terintegrasi, dan jaminan sosial yang luas adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang layak bagi seluruh pekerja migran kita,” tegas Imam Riyadi.

‎Dengan semangat kolaborasi global, SPPI percaya bahwa perjuangan nelayan dan pelaut migran Indonesia akan semakin diperhitungkan di panggung dunia. (ALN)*

IMG-20240717-WA0051

Soroti Penyimpangan BUMDes, LBH Maskar Indonesia Layangkan Gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri Karawang

H. Nanang Komarudin, S.H., M.H., (Ketum LBH Maskar Indonesia)

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Maskar Indonesia melayangkan gugatan perdata Citizen Law Suit (CLS) terhadap Bupati Karawang, Inspektorat, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), kepada Pengadilan Negeri Karawang.

Gugatan dengan Nomor Perkara: 105/Pdt.G/2025/PN kwg, ini dilayangkan ke Pengadilan Negeri Karawang terkait dugaan kelalaian dalam pengawasan dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang dinilai bermasalah di hampir seluruh desa di Kabupaten Karawang.

Ketua LBH Maskar Indonesia, H. Nanang Komarudin, S.H., M.H., mengatakan gugatan ini diajukan untuk kepentingan umum setelah lembaganya menemukan penyimpangan masif dalam pengelolaan keuangan BUMDes.

“Kami menemukan banyak BUMDes yang hanya fiktif, tidak menjalankan usaha, dan tidak memiliki laporan keuangan yang transparan. Padahal, setiap tahun dana desa dikucurkan untuk penyertaan modal,” ujar Nanang kepada awak media.

Menurut Nanang, kondisi ini menunjukkan adanya kelalaian serius dari para tergugat, khususnya Pemerintah Kabupaten Karawang, dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan. Akibatnya, potensi kerugian negara dan rakyat sangat besar.

Lebih lanjut, LBH Maskar Indonesia juga menyoroti rencana Pemerintah Pusat untuk mendirikan Koperasi Merah Putih di setiap desa. Rencana ini dinilai akan menambah tumpang tindih kelembagaan ekonomi desa tanpa adanya evaluasi terhadap kegagalan BUMDes sebelumnya.

Hal ini berpotensi menjadi celah baru untuk praktik korupsi dan manipulasi dana desa.

Tuntutan LBH Maskar Indonesia dalam gugatannya, menuntut beberapa poin penting, di antaranya:

•Audit Menyeluruh: Memerintahkan para tergugat untuk melakukan audit total terhadap seluruh BUMDes di Kabupaten Karawang dalam waktu 90 hari.
•Publikasi Hasil Audit: Meminta hasil audit dibuka secara transparan kepada publik.
•Tindakan Hukum: Menuntut para tergugat untuk menindaklanjuti temuan indikasi tindak pidana korupsi.
•Hentikan Sementara: Menghentikan sementara rencana pembentukan koperasi desa baru sebelum evaluasi menyeluruh terhadap BUMDes dilakukan.

Gugatan Citizen Law Suit ini diharapkan dapat mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih baik, transparan, dan akuntabel dalam penggunaan dana desa, serta melindungi hak-hak warga dari praktik korupsi. (red)*