Bulan: April 2025

IMG-20241007-WA0012

Terkait Limbah Medis di Karangligar, Askun Desak Pemkab Berikan Sanksi Tegas

Asep Agustian, S.H., M.H., (Praktisi Hukum)

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Kasus pembuangan limbah medis di pemukiman warga Desa Karangligar Kecamatan Telukjambe Barat terus menjadi sorotan publik. Sabtu (12/4/25).

Pasalnya, selain mencemari lingkungan, limbah medis yang masuk kategori limbah B3 ini akan mengancam kesehatan dan keselamatan warga dalam jangka panjang, akibat air bawah tanah yang dikonsumsi warga tercemar.

Sementara terkonfirmasi DLHK Karawang, tumpukan limbah medis yang tercampur limbah domestik tersebut berasal dari dua rumah sakit swasta besar di Karawang, yaitu RS Bayukarta dan RS Hermina.

Praktisi Hukum dan Pemerhati Pemerintahan, Asep Agustian SH. MH menegaskan, harus ada sanksi tegas dalam persoalan ini. Jangan sampai ujung-ujungnya Pemda Karawang hanya sekedar memfasilitasi pihak rumah sakit untuk melakukan klarifikasi ke publik.

"Bohong kalau pihak rumah sakit ngaku tidak tahu menau persoalan ini. Kan ada kontrak kerja sama dengan pihak vendor si pembuang limbah. Dan di dalam masing-masing kontrak pasti ada kontroling," tutur Asep Agustian (Askun), Sabtu (12/4/2025).

Dan yang disesalkan publik, Askun menyindir kenapa beberapa pihak terkait yang seharusnya bertanggungjawab malah seolah-olah cuci tangan pasca persoalannya viral. Termasuk DLHK Karawang yang hanya bisa memberikan penjelasan temuan dan klarifikasi.

Sehingga akhirnya Bupati Karawang, H. Aep Syaepuloh turun tangan dan akan memanggil kedua pihak rumah sakit. Padahal seharusnya, kedua rumah sakit tersebut mendapatkan sanksi tegas sesuai PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Limbah.

"Sanksinya tegas, hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp. 5 miliar. Apalagi ini dua rumah sakit swasta besar semua," katanya.

"Saya apresiasi Pak Bupati yang mau manggil dua rumah sakit tersebut. Tapi kalau ceritanya seperti ini, ya kerjanya dinas ngapain?. Emang kerjanya bupati ngurusin yang beginian doang. Artinya, ya dinasnya gak becus kerja," timpal Askun.

Selain sanksi pidana dan denda, Askun juga mendesak kedua belah pihak rumah sakit memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada warga di sekitar lokasi tempat pembuangan limbah medis.

Karena dampak negatif dari pembuangan limbah medis ini pasti akan dirasakan warga dalam jangka panjang. Karena mau tidak mau air bawah tanah yang dikonsumsi warga akan tercemar.

"Ya dampaknya tidak akan dirasakan sebulan atau setahun ke depan. Coba nanti lihat lima atau sepuluh tahun ke depan. Pasti akan ada dampak kesehatan yang bakal dirasakan warga," tandasnya. (red)*

IMG-20250408-WA0037

Desak Pemerintah, Ketum F-BUMINU SARBUMUSI : “Jangan Biarkan Susanti Tewas”

Ali Nurdin Abdurahman, Ketua Umum F-BUMINU SARBUMISI (kedua dari kiri)

Jendela Jurnalis JAKARTA - Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, menyampaikan desakan dan kecaman keras terhadap pemerintah Indonesia terkait nasib tragis Susanti binti Mahfudz, pekerja migran Indonesia asal Karawang, Jawa Barat, yang tinggal menunggu waktu untuk dieksekusi mati di Arab Saudi.

Susanti, yang sudah mendekam di penjara sejak 2009 atas tuduhan membunuh anak majikannya di Dawadmi, kini menghadapi tenggat pembayaran diyat (uang ganti rugi) sebesar 30 juta Riyal Saudi, sekitar Rp. 120 miliar, yang harus dilunasi paling lambat 9 April 2025, atau esok hari. Namun hingga hari ini, dana yang berhasil dikumpulkan baru sekitar 2,27 juta Riyal.

“Jika Susanti sampai dieksekusi besok, maka itu adalah kegagalan telanjang negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Ini bukan lagi soal hukum, ini soal moralitas negara dalam melindungi nyawa warganya,” tegas Ali Nurdin dalam pernyataan resminya, Senin (8/4).

Korban Sistem yang Gagal

Ali Nurdin menekankan bahwa Susanti bukan sekadar terdakwa, tapi korban dari sistem penempatan tenaga kerja yang amburadul. Susanti diberangkatkan ke Arab Saudi saat masih berusia 16 tahun, tanpa pendampingan hukum, tanpa kemampuan bahasa, dan hanya bekerja tiga bulan sebelum akhirnya dipaksa mengakui pembunuhan yang tidak dia lakukan.

“Bagaimana mungkin seorang anak di bawah umur bisa lolos sistem dan dikirim ke luar negeri? Lalu saat dituduh, dia dipaksa mengaku bersalah dan menjalani persidangan tanpa pendampingan hukum. Ini bukan hanya cacat hukum, ini kejahatan sistemik,” tegas Ali.

Ia menyoroti lemahnya perjanjian bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi, serta ketiadaan nota diplomatik yang tegas dalam memberikan perlindungan hukum kepada pekerja migran yang tersangkut kasus pidana. “Kalau tidak ada sistem perlindungan yang jelas, maka pemerintah hanya sedang mengirim anak bangsa ke ladang pembantaian,” katanya.

Diplomasi Gagal, Negara Harus Bertanggung Jawab

Menurut Ali Nurdin, kegagalan diplomasi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) dalam menyelamatkan Susanti harus dikritisi secara serius. Ia menyayangkan bahwa hingga batas waktu tinggal sehari lagi, pemerintah masih belum bisa menggalang dana tebusan minimal Rp. 40 miliar hasil negosiasi.

“Jangan bandingkan nyawa Susanti dengan uang. Bandingkan dengan betapa banyaknya uang negara yang menguap akibat korupsi. Triliunan bisa digelontorkan untuk proyek mercusuar dan insentif politik, tapi menyelamatkan satu nyawa tak bisa?” katanya geram.

Ali juga mengutip Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab memberikan perlindungan menyeluruh, termasuk bantuan hukum, diplomatik, hingga kepulangan.

“Negara tidak boleh menyerah. Jangan biarkan Susanti tewas," singgungnya.

Seruan Terakhir untuk Presiden Prabowo

Melihat waktu yang tersisa tinggal hitungan jam, Ali Nurdin menyerukan Presiden Prabowo Subianto untuk turun langsung, apapun caranya. Ia menyebut bahwa keputusan untuk menyelamatkan nyawa Susanti kini tidak lagi ada di meja menteri, melainkan di tangan Presiden.

“Kita tidak butuh retorika, kita butuh tindakan. Presiden harus bertindak langsung, entah dengan diplomasi khusus, penggalangan dana darurat, atau opsi terakhir lainnya. Negara tidak boleh tinggal diam,” pungkasnya.

Ali Nurdin juga mengingatkan, Susanti bukan satu-satunya. “Masih banyak pekerja migran yang mengalami nasib serupa. Ironisnya, banyak dari mereka baru diketahui keberadaannya setelah vonis mati dijatuhkan atau bahkan setelah dieksekusi. Ini tidak bisa dibiarkan,” ucapnya.

“Kalau negara tak bisa hadir saat nyawa rakyatnya di ujung maut, maka untuk apa kita punya negara?” kata Ali Nurdin, mengakhiri pernyataannya. (NN)*

IMG-20250408-WA0003

Ali Nurdin Apresiasi Penundaan Pencabutan Moratorium Penempatan PMI ke Timur Tengah: Usul Revolusi Tata Kelola dan Penguatan Regulasi

Ali Nurdin, Ketum F-Buminu Sarbumusi (kiri)

Jendela Jurnalis JAKARTA - Ketua Umum F-Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, menyambut positif keputusan pemerintah untuk menunda pencabutan moratorium penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Timur Tengah. Menurutnya, penundaan ini adalah langkah bijak di tengah belum terselesaikannya berbagai persoalan mendasar yang justru menjadi alasan utama diterapkannya moratorium oleh menteri-menteri sebelumnya seperti Muhaimin Iskandar dan Hanif Dhakiri.

"Kita harus jujur, akar persoalan penempatan PMI ke Timur Tengah belum benar-benar dibenahi. Mulai dari sistem penempatan yang longgar, perlindungan hukum yang lemah, hingga maraknya praktik perdagangan orang. Maka, langkah pemerintah untuk menunda pencabutan moratorium ini patut diapresiasi," ujar Ali Nurdin dalam pernyataannya.

Lebih jauh, Ali Nurdin menekankan perlunya revolusi tata kelola dalam sistem penempatan dan perlindungan PMI. Menurutnya, perombakan sistem ini tidak cukup hanya dengan reformasi teknis atau kebijakan sektoral, tetapi membutuhkan payung hukum yang kuat melalui revisi atau amandemen Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Pengesahan revisi UU adalah dasar bagi reformasi total. Undang-undang harus menjadi poros hukum untuk seluruh turunan peraturan, baik peraturan pemerintah maupun peraturan menteri. Kita tidak bisa membangun sistem yang adil dan bermartabat kalau pijakannya rapuh," jelasnya.

Ali juga menolak wacana penghapusan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sebagai operator dalam sistem ini. Menurutnya, badan seperti BP2MI tetap harus ada, meskipun bisa dengan nama baru. Hal ini mengingat fungsi operator tidak dapat dirangkap oleh lembaga regulator seperti Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI).

"Kita tidak mungkin membiarkan wasit merangkap jadi pemain. Perlu dibentuk lembaga khusus yang fokus sebagai operator tata kelola penempatan dan perlindungan PMI. Apakah nantinya di bawah presiden langsung atau Menko Pemberdayaan Masyarakat, itu soal teknis. Yang penting, lembaga ini bisa mensinergiskan seluruh kementerian terkait secara fungsional dan sistematis," tegasnya.

Lembaga operator ini diusulkan menjadi sistem layanan satu pintu yang terdiri dari unsur tripartit: pemerintah, asosiasi perusahaan penempatan, serta NGO atau serikat buruh. KP2MI tetap menjadi regulator utama, tetapi pelaksanaan teknis berada di tangan lembaga operator yang melibatkan berbagai kementerian strategis seperti Kementerian Desa, Kementrian Luar Negeri, Kemensos, Kementerian Pendidikan, Kemenkes, Kemenkop dan UMKM, Kemenpora, Kemendagri, Kepolisian, Imigrasi, hingga Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan serta kementerian terkait lainnya yang harus mempunyai tanggungjawab yang sama.

Secara filosofis, usulan Ali Nurdin mencerminkan pandangan sistemik yang berbasis pada pendekatan holistik bahwa pekerja migran bukan hanya entitas ekonomi, tetapi manusia utuh dengan kebutuhan pendidikan, kesehatan, hukum, sosial dan budaya. Teori Human Development dari Amartya Sen menjadi relevan dalam konteks ini, di mana pembangunan manusia tidak cukup hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari perluasan pilihan hidup dan perlindungan atas martabat.

Kementerian Luar Negeri harus mengambil peran sebagai pelindung utama di luar negeri dengan memastikan adanya perjanjian bilateral yang melindungi hak-hak PMI serta menyediakan diplomat khusus yang memahami isu migrasi pekerja migran untuk advokasi. Kementerian Desa, bisa menjadi garda depan dalam pendataan awal calon PMI dan pemantauan purna migrasi. Kementerian Pendidikan bertanggung jawab atas pelatihan bahasa dan keterampilan calon PMI, termasuk pendidikan bagi anak-anak dan keluarganya.

Kementerian Kesehatan diperlukan untuk pemeriksaan dan layanan kesehatan PMI dan keluarganya. Kementerian Sosial dan PPPA dapat memberikan layanan trauma healing dan bantuan sosial untuk korban kekerasan atau perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Kementerian UMKM dan Koperasi diharapkan menjadi pendorong pemberdayaan ekonomi PMI dan pengembangan wirausaha purna migrasi. Kemenpora memiliki potensi besar dalam pembinaan mental dan motivasi, sementara Kemendagri, Imigrasi, dan Kepolisian bertugas dalam pengadministrasian, penerbitan dokumen, serta penegakan hukum.

"Kita butuh revolusi, bukan tambal sulam. Perlu sistem yang manusiawi, bermartabat dan berkeadilan. Negara wajib hadir tidak hanya saat keberangkatan, tapi dari hulu ke hilir dalam kehidupan pekerja migran," tutup Ali Nurdin.

Dengan skema ini, penempatan dan perlindungan PMI tidak lagi menjadi urusan satu lembaga, melainkan tanggung jawab kolektif negara melalui orkestrasi kebijakan lintas sektoral yang berlandaskan pada keadilan sosial. dihargai, dilindungi, dan disejahterakan. (red)*

IMG-20240907-WA0029

Ali Nurdin Sebut Dedi Mulyadi Jadi Harapan Besar bagi Pekerja Migran Jawa Barat Menuju Kesejahteraan

Ali Nurdin (Ketua Umum F-Buminu Sarbumusi)

Jendela Jurnalis Kuningan, JABAR - Menyikapi banyaknya persoalan tentang Pekerja Migran Indonesia (PMI), Ali Nurdin selaku Ketua Umum F-Buminu Sarbumusi menyebut bahwa kini sosok Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat dianggap membawa harapan besar untuk kesejahteraan PMI di Jawa Barat. Kamis (3/4/25).

Berikut naskah yang ditulis Ali Nurdin dengan judul "Dedi Mulyadi dan Harapan Besar untuk Pekerja Migran Jawa Barat Menuju Kesejahteraan" sebagai berikut ;

Kisah Seorang Pahlawan Devisa yang Terluka

Di sudut Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, seorang perempuan berusia 32 tahun bernama Siti menatap kosong ke langit. Dua tahun lalu, ia meninggalkan kampung halaman dengan janji menjadi pekerja di Malaysia. Namun, impiannya berubah menjadi mimpi buruk: upah tak dibayar, paspor disita, dan hidup dalam tekanan. Kisah Siti bukanlah cerita tunggal. Ia mewakili ribuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jawa Barat yang terjebak dalam jerat Trafficking in Persons (TPPO). Di tengah kepedihan ini, harapan baru muncul: harapan pada Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, untuk mengubah nasib mereka.

Jawa Barat: Episentrum PMI dan Tantangan TPPO

Sebagai provinsi penyumbang PMI terbesar di Indonesia (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan PMI, 2022 mencatat 35% PMI berasal dari Jabar), Jawa Barat menjadi saksi bisu gelombang warga yang berangkat mencari penghidupan lebih baik. Sayangnya, minimnya pendidikan dan akses lapangan kerja lokal membuat banyak masyarakat, terutama lulusan SD-SMP, terpilih menjadi PRT atau buruh kasar di luar negeri. Celah inilah yang dimanfaatkan sindikat TPPO. Mereka menjanjikan prosedur cepat, namun justru menjerumuskan PMI ke dalam eksploitasi. 

“Masalah (TPPO) bukan sekadar kejahatan, tapi kegagalan kita membangun kesejahteraan di tingkat akar rumput,” ujar KDM dalam suatu kesempatan di Purwakarta, 2023. Pernyataan ini menggambarkan visinya yang holistik: memberantas TPPO tak hanya dengan penindakan, tetapi juga dengan membangun solusi struktural.

Refleksi Kepemimpinan KDM: Dari Purwakarta ke Jawa Barat

Kepedulian KDM terhadap masyarakat marginal bukanlah hal baru. Saat menjabat Bupati Purwakarta (2008-2018), ia menggagas program “Pendidikan Berbasis Karakter” yang memadukan kurikulum akademik dengan pelatihan keterampilan praktis, seperti pertanian dan UMKM. Hasilnya, angka putus sekolah turun 40%, dan banyak pemuda beralih dari urbanisasi ke wirausaha lokal. Kebijakan ini relevan jika diterapkan untuk calon PMI: pendidikan vokasi berbasis permintaan pasar global bisa menjadi alternatif bagi lulusan rendah yang rentan menjadi korban TPPO.

Selain itu, KDM dikenal dengan pendekatan kultural dalam pembangunan. Ia kerap mengutip filosofi Sunda: “Ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman” (melindungi nilai lama, mengadaptasi zaman baru). Filosofi ini bisa menjadi dasar kebijakan perlindungan PMI yang memadukan kearifan lokal dengan inovasi modern.

Solusi Tatakelola: Tiga Pilar Kebijakan yang Ditunggu

1. Pencegahan Penempatan Non Prosedural yang cenderung pada Tidak Pidana Perdagangan Orang TPPO melalui Pemberdayaan Ekonomi Lokal

Membuka lapangan kerja bagi lulusan rendah dengan mengembangkan sektor padat karya di Jabar, seperti industri kreatif (batik, anyaman), agroindustri, dan pariwisata berbasis komunitas. Program “Sabilulungan Wirausaha” bisa diadopsi untuk memberikan modal dan pelatihan teknis. Seperti kata KDM: “Jangan biarkan anak muda kita hanya jadi pelayan di negeri orang, tapi jadikan mereka tuan rumah di tanah sendiri.”

2. Reformasi Sistem Rekrutmen PMI  

   Memperkuat pengawasan terhadap Perusahaan Penempatan PMI (P3MI) ilegal dan membentuk posko pengaduan di tingkat desa. KDM dapat mengadopsi model “Desa Migran Sejahtera” ala Kabupaten Cilacap, yang memastikan calon PMI mendapat pelatihan pra-keberangkatan, dokumen lengkap, dan pemantauan di penempatan maupun pasca-penempatan.

3. Perlindungan Hukum dan Advokasi  

   Membentuk Satgas Anti-TPPO provinsi yang bekerja sama dengan Kementerian terkait dan Aparat Penegak Hukum. Selain penindakan, penting juga menyediakan rumah singgah dan pendampingan hukum bagi korban. Seperti contoh kebijakan “Rumah Harapan” di Jawa Tengah, yang memberikan trauma healing dan pelatihan reintegrasi.

Kolaborasi sebagai Kunci: Sinergi Pusat-Daerah dan Masyarakat Sipil

KDM tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan sinergi dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk memperluas program Kartu Prakerja berbasis sektor spesifik (misalnya perawatan lansia atau teknisi), serta kemitraan dengan LSM dan Organisasi Pekerja Migran untuk edukasi hak-hak PMI. Di tingkat ASEAN, Jabar bisa menjadi pionir dalam memperjuangkan MoU perlindungan PMI yang lebih mengikat.

Dari Harapan Menuju Aksi Nyata

Harapan pada KDM bukanlah ilusi. Sejarah kepemimpinannya di Purwakarta membuktikan bahwa pendekatan berbasis budaya dan pemberdayaan bisa mengubah wajah daerah. Jika kebijakan yang pro-PMI dijalankan secara konsisten, Jawa Barat tak hanya akan mengurangi angka TPPO, tetapi juga menjadi contoh tata kelola migrasi yang manusiawi. Seperti pesan KDM dalam pidato pelantikannya: “Kita tidak butuh pahlawan yang jauh di sana, karena setiap kebijakan yang memanusiakan manusia adalah pahlawan zaman sekarang.”  

Kini, saatnya Jawa Barat menulis bab baru: dari daerah penyumbang PMI tertinggi, menjadi pelopor kesejahteraan Pekerja Migran. (NN)*