Jendela Sosial

IMG-20250418-WA0105

Peduli Lingkungan, Karang Taruna Cilamaya Kulon Gotong Royong Bersihkan Sampah di TPS Liar

Foto : Ketua Karang Taruna Cilamaya Kulon beserta Anggota dan Kepala Desa saat membersihkan sampah di TPS liar (Sumber: Media Katar Cikul)

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Berawal dari beberapa gagasan para pengurus dan Karang Taruna Desa lainnya yang ada di Kecamatan Cilamaya Kulon terkait adanya TPS +Tempat Pembuangan Sampah) liar atau ilegal, Karang Taruna Cilamaya Kulon menggelar JUMSIH (Jumat Bersih). Jumat (18/4/25).

Kegiatan tersebut digelar di area pinggir Jalan Raya Singaperbangsa, tepatnya di area Dusun Kopo, Desa Muktijaya yang berbatasan langsung dengan Desa Pasirukem.

Dibantu Team Tangkar (Tanggap Karawang), Ketua beserta jajaran Pengurus Karang Taruna Kecamatan Cilamaya Kulon bersama beberapa Karang Taruna Desa meluputi dari Pasirjaya, Pasirukem, Muktijaya dan Kiara dan desa lainnya menyisir sampah yang berada di area tersebut. Tanpa rasa jijik, mereka menaikan ke mobil yang sudah disediakan.

Selain itu, kegiatan bertema gotong royong tersebut juga turut diikuti oleh Kepala Desa Muktijaya dan Pasirukem, sehingga kebersamaan antara Karang Taruna Cilamaya Kulon dengan Pemerintahan Desa selalu terjalin untuk tetap aktif dan kolaboratif.

Moment kebersamaan dan kekompakan Karang Taruna Cilamaya Kulon

Dalam kesempatannya, Ramdhan Mutahar selaku Ketua Karang Taruna Kecamatan Cilamaya Kulon menerangkan bahwa kegiatan Jumsih tersebut digelar secara spontanitas. Berawal dari keluhan dan gagasan beberapa anggota Karang Taruna yang merasa peduli terhadap kebersihan lingkungan dan merasa bahwa adanya tumpukan sampah di lokasi yang dijadikan TPS ilegal tersebut tidak boleh dibiarkan dan harus ada tindakan untuk mengatasinya.

Lebih lanjut, Ramdhan menyebut bahwa langkah kecil tersebut dilakukan agar bisa memotivasi, membangun kepedulian kolektif di masyarakat dan semua stakeholder, khususnya di Kecamatan Cilamaya Kulon.

Melalui kegiatan tersebut, Ramdhan berharap agar kedepannya tidak adal lagi TPS liar atau ilegal, dan dirinya juga akan berkoordinasi dengan pemerintahan setempat terkait pemecahan solusinya agar bisa dirumuskan bersama-sama, serta melanjutkan kegiatan serupa di beberapa titik lokasi lainnya yang belum tersentuh.

"Harapan kami kedepan, di Cikul (Cilamaya Kulon) tidak ada lagi TPS-TPS ilegal. Para kades juga mungkin nanti bisa patungan bikin TPS atau pengadaan bak amrol di beberapa titik, agar masyarakat bisa membuang sampah pada tempatnya," pungkasnya. (Nunu)*

IMG-20250414-WA0014

Dibalik Jeritan Susanti, Yeni Rahayu Dukung Langkah Rachmat Hidayat Djati dan Ali Nurdin Bongkar Gunung Es Eksploitasi Migran Perempuan

Yeni Rahayu (Sekretaris Sarasa Institut Pangandaran)

Jendela Jurnalis Pangandaran, JABAR - Dukungan dan solidaritas terhadap Susanti binti Mahfudz, pekerja migran asal Karawang yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, terus mengalir dari berbagai pihak. Kali ini, suara tegas datang dari Yeni Rahayu, Sekretaris Sarasa Institute Pangandaran, yang mengecam lemahnya tata kelola perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia, khususnya perempuan dan anak-anak.

Yeni menyampaikan apresiasi mendalam atas sikap Rachmat Hidayat Djati, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat dari Fraksi PKB yang juga Ketua DPC PKB Karawang. Ia menyebut Rachmat sebagai contoh nyata legislator daerah yang peduli dan berpihak pada keadilan warga kecil. “Gerak cepat dan keberpihakan moral dari Pak Rachmat adalah cahaya di tengah gelapnya perlindungan migran kita. Ini bukan soal politik, ini soal nyawa, soal martabat bangsa,” ujar Yeni.

Tak hanya itu, Yeni juga apresiasi Ali Nurdin, Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, yang secara konsisten mengangkat isu ini ke permukaan hingga mendapat perhatian publik nasional. Menurutnya, suara serikat pekerja seperti Federasi Buminu Sarbumusi sangat penting dalam membongkar kebungkaman yang selama ini menyelimuti persoalan migran.

Fenomena Gunung Es dan Kelalaian Negara

Menurut Yeni, kasus Susanti bukanlah insiden tunggal, melainkan puncak dari fenomena gunung es yang mencerminkan buruknya tata kelola migrasi tenaga kerja dari hulu ke hilir. Ia menyebut banyak pekerja migran perempuan yang diberangkatkan tanpa perlindungan, tanpa persiapan, bahkan dalam banyak kasus, masih di bawah umur.

"Susanti bukan hanya korban sistem hukum asing, tapi juga korban pengabaian sistemik dari negara sendiri. Ia diberangkatkan saat masih di bawah umur, tanpa pendampingan hukum, dan masuk ke dalam sistem peradilan yang keras tanpa pegangan," ungkap Yeni.

Mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komnas Perempuan dan Anak Turun Tangan

Yeni Rahayu dengan tegas mendesak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komnas Perempuan dan Komnas Anak untuk aktif dalam menangani kasus ini. Ia menilai lembaga-lembaga tersebut belum memainkan peran signifikan dalam krisis pekerja migran perempuan.

“Ini jelas-jelas eksploitasi perempuan dan anak dalam sistem kerja migran. Kalau kementerian dan komnas yang bertugas melindungi mereka tidak bersuara, lalu siapa lagi? Ini bukan sekadar laporan tahunan atau seminar, ini nyawa manusia,” katanya dengan nada geram.

Menyoal Ratifikasi dan Pelanggaran Hak Asasi

Yeni juga mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi ILO, termasuk ILO Convention No. 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga dan ILO Convention No. 138 tentang Usia Minimum untuk Bekerja. Kedua konvensi ini, kata Yeni, seharusnya menjadi pijakan kuat untuk mencegah anak di bawah umur seperti Susanti diberangkatkan bekerja ke luar negeri.

"Jika pemerintah membiarkan Susanti berangkat dalam kondisi belum cukup umur, maka ini bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi pelanggaran HAM. Negara punya kewajiban hukum dan moral untuk menegakkan itu," tegasnya.

Usut Tuntas Pelaku Pemberangkatan

Tak kalah penting, Yeni mendesak agar aparat penegak hukum mengusut tuntas pihak-pihak yang terlibat dalam pemberangkatan Susanti, termasuk calo, perusahaan penempatan, maupun pejabat yang menutup mata. “Mereka harus dihukum berat. Ini bukan sekadar kesalahan administrasi. Ini adalah bentuk penelantaran terhadap warga negara dan pengabaian hak dasar manusia,” ujarnya.

Harapan untuk Masa Depan

Yeni menutup pernyataannya dengan harapan agar kasus Susanti menjadi momentum refleksi nasional dan reformasi total sistem migrasi tenaga kerja. Ia menyebut peran daerah sangat krusial, terutama bagi provinsi seperti Jawa Barat yang menjadi penyumbang PMI terbesar.

“Langkah-langkah seperti yang dilakukan Rachmat Hidayat Djati harus menjadi gerakan kolektif. Jangan sampai tragedi ini hanya menjadi headline sesaat. Kita harus pastikan tidak ada lagi Susanti berikutnya,” pungkas Yeni.

Kasus Susanti membuka tirai lebar-lebar tentang borok sistem migrasi Indonesia. Kini, suara perempuan seperti Yeni Rahayu, bersama legislator berani seperti Rachmat Hidayat Djati, dan aktivis pekerja seperti Ali Nurdin, memberi harapan bahwa perlindungan migran bisa kembali pada arah yang benar, berpihak pada manusia, bukan sekadar angka devisa. (ALN)*

IMG-20250413-WA0004

Ali Nurdin Temui Keluarga Susanti di Karawang: Upaya Menggali Informasi Yang Utuh Agar Publik Tidak Disesatkan Oleh Narasi Sepihak

Ali Nurdin (tengah) saat menggali informasi dari Ayah dan Paman dari Susanti

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Ketua Umum Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-Buminu Sarbumusi), Ali Nurdin Abdurahman, melakukan kunjungan ke rumah keluarga Susanti di Cilamaya, Karawang, pada Sabtu (12/4). Kedatangan Ali ini bertujuan menggali informasi utuh dan menyeluruh tentang kasus tragis yang menimpa Susanti, Pekerja Migran Indonesia yang kini menghadapi vonis hukuman mati di Arab Saudi.

Kunjungan ini dilakukan Ali setelah kepulangannya Orang Tua Susanti dari Arab Saudi akhir tahun lalu, di mana ia sempat bertemu langsung dengan Susanti di penjara. Ali menegaskan pentingnya mendapatkan informasi utuh dari keluarga agar publik tidak terus disesatkan oleh narasi sepihak. “Masih banyak anggapan negatif terhadap Susanti karena informasi yang beredar tidak utuh. Padahal, kebenaran tidak bisa dibangun di atas informasi yang setengah-setengah,” ujarnya.

Menurut keterangan Mahfud orang tua Susanti yang disampaikan kepada Ali, Susanti diberangkatkan ke Arab Saudi pada tahun 2009, Ia bekerja di rumah salah satu majikan, dan di sana sudah ada satu pekerja lain asal Nusa Tenggara Barat (NTB). Tiga bulan setelah bekerja, Susanti mendapati anak majikannya sudah dalam kondisi tak bernyawa di ruang garasi.

Dalam situasi panik, ketidaktahuan, dan tanpa pendampingan, Susanti didesak untuk mengaku sebagai pelaku. Menurut cerita keluarga, sesama pekerja dari NTB juga turut mempengaruhinya agar mengaku agar segera beres, dengan harapan kasus segera selesai dan ia bisa kembali bekerja. Namun, justru pengakuan tersebut itulah menjadi malapetaka dasar adanya vonis berat hukuman mati. Dengan adanya ancaman Hukuman mati ahirnya Susanti telah mencabut pengakuannya melalui pengacara yang ditunjuk oleh Kementerian Luar Negeri, yang kemudian adanya penundaan putusan pengadilan.

Mahfud juga menambahkan bahwa “Dari hasil otopsi, tidak ada satu pun sidik jari Susanti di tubuh korban dan bagaimana mungkin Susanti bisa membunuh anak majikan yang posturnya lebih besar dan usianya hampir sepadan?, dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca muhfud juga mengatakan, “Dalam posisi panik, jauh dari keluarga, tanpa pendampingan, bahasa yang belum ia mengerti dan di negara yang baru ia kenal siapa pun akan mengalami hal serupa,” katanya sambil menahan tangis.
Sementara menurut Ali ada kejanggalan dalam kasus yang menimpa Susanti, karena Secara Logika ini Cacat Hukum, ada kejanggalan kasus ini menjadi upaya bisnis dan komersialisasi hukum adanya uang Diyat.

Dengan suara lantang, Ali mengingatkan bahwa nasib Susanti adalah cermin dari tanggung jawab konstitusional negara. “Apabila Susanti sampai mati padahal bukan pelaku yang sebenarnya, itu adalah kegagalan telanjang negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Ini bukan lagi soal hukum, bukan soal uang, ini soal wibawa, tapi di mana moralitas negara?”

Ali juga menekankan bahwa perjuangan ini bukan hanya tanggung jawab Negara, Kepala Daerah atau pun Diplomat dan Pengacara, ini harus menjadi tanggung jawab kita semua sebagai bangsa. “Tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain kemanusiaan. (Gus Dur)”.

IMG-20250413-WA0012

“Seruan Rahmat Hidayat Djati untuk Selamatkan Susanti dan Reformasi Perlindungan Pekerja Migran”

H. Rahmat Hidayat Djati, M.I.P

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Angin yang berhembus dari ladang-ladang Cilamaya sore itu seakan membawa harapan baru, meski masih samar. Rahmat Hidayat Djati, Anggota DPRD Jawa Barat dan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kabupaten Karawang, datang bukan sekadar berkunjung. Ia datang membawa suara seorang wakil rakyat yang resah melihat warganya digiring menuju tiang eksekusi, ribuan kilometer jauhnya di Arab Saudi.

Susanti binti Mahfud, seorang pekerja migran asal Karawang, dijadwalkan dieksekusi pada 9 April 2025. Namun eksekusi itu ditunda hingga Juni. “Penundaan ini bukan pengampunan,” ujar Rahmat dengan nada tegas. “Ini hanya memberi waktu. Maka pemerintah melalui Menlu harus segera meningkatkan upaya diplomatik yang lebih tegas karena Susanti bukanlah pelaku pembunuhan. Keyakinan tersebut yang disampaikan mahfud kepada Rahmat Hidayat Djati Sabtu 12/4/2025 atas pengakuan Susanti langsung yang dipertemukan yang pada tahun 2022-2023 dan terahir 2024, Yang di fasilitasi oleh pihak Kementerian Luar Negeri.

Rahmat Desak Gubernur Dedi Mulyadi Ambil Peran dalam Penyelamatan Susanti dan Reformasi Tata Kelola Pekerja Migran

Penundaan eksekusi mati terhadap Susanti binti Mahfud, Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Karawang, Jawa Barat, hingga Juni 2025 menjadi titik kritis baru yang menuai sorotan tajam dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat FPKB yang mengecam lambannya respons negara serta meminta Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, untuk turun tangan secara nyata dalam menyikapi kasus yang menimpa warganya.

Rahmat menegaskan bahwa penundaan eksekusi ini hanyalah “jeda maut” jika negara tidak segera menyelesaikan persoalan utama: pembayaran uang diyat sebesar 120 Miliar yang turun menjadi 40 Miliar yang diminta oleh keluarga korban sebagai syarat pengampunan. Padahal menurut ketentuan hukum Arab Saudi sendiri yang ditetapkan Raja Fahd Bin Abdul Aziz pada tahun 1982, nilai diyat qishash maksimal adalah 400 ribu riyal kurang lerbih 1,5 Mliar.

Namun sejak Presiden SBY menggelontorkan dana negara untuk membayar diyat atas nama perlindungan WNI, sejak itulah harga diyat di Arab Saudi jadi liar. Kasus Susanti adalah puncak gunung es dari sistem yang rusak akibat diplomasi yang lemah dan kebijakan tanpa kalkulasi jangka panjang,” tegas Rahmat dalam keterangan tertulisnya, Rabu (9/4).

Menurutnya, praktik seperti ini telah menjadikan nyawa WNI sebagai komoditas tawar-menawar, bukan lagi sebagai entitas yang dilindungi martabat dan hak konstitusionalnya. Ia menyayangkan bahwa kini diyat dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan, bertentangan dengan semangat keadilan Islam yang berpijak pada Al-Qur’an, Hadis, dan pendapat para imam mazhab.

Rahmat juga menyoroti betapa sulitnya mendapatkan pengampunan dari keluarga korban dalam kasus pembunuhan yang menyasar balita dan lansia di negara-negara yang menerapkan syariat Islam secara ketat, termasuk Arab Saudi. Proses panjang dan kompleks yang melibatkan fatwa-fatwa klasik dan pendapat ulama besar menambah keruwetan diplomasi negara.

“Di masa Orla, Orba, hingga era Presiden Gus Dur, banyak WNI yang terbukti melakukan pembunuhan masih bisa mendapatkan maaf. Sebabnya sederhana: negara hadir. Para Ahlul Khair juga sering menanggung biaya diyat. Tapi begitu negara mulai mencairkan dana diyat secara sistematis, segalanya berubah menjadi pasar gelap nyawa,” ungkapnya.

Desakan kepada Gubernur Jawa Barat

Rahmat Hidayat Djati secara khusus meminta Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi agar tidak tinggal diam melihat tragedi yang menimpa warganya. Menurutnya, sebagai provinsi penyumbang terbesar PMI, Jawa Barat punya tanggung jawab moral dan politis untuk membela Susanti, serta melakukan reformasi kebijakan ketenagakerjaan di tingkat daerah.

“Pak Dedi Mulyadi harus menyadari bahwa Susanti bukan hanya kasus kemanusiaan, tapi juga tamparan keras bagi sistem migrasi kita yang lemah. Sudah waktunya provinsi ini memiliki kebijakan perlindungan PMI yang konkret, mulai dari regulasi pengawasan usia calon pekerja hingga penyediaan bantuan hukum dan pendampingan psikologis,” ucap Rahmat.

Ia juga mendorong dibentuknya satuan tugas atau pusat layanan bantuan hukum dan diplomasi PMI di bawah kewenangan provinsi, serta kerja sama yang lebih erat antara Pemprov Jabar dan Kementerian Luar Negeri.

Kritik atas Kesenjangan Diplomasi

Rahmat menilai sangat tidak adil bila membandingkan cara Indonesia menangani warganya yang terancam hukuman mati dengan bagaimana negara lain melindungi warganya di Indonesia. Ia menyebut sejumlah kasus di mana WNA yang divonis mati di Indonesia bisa dibebaskan hanya melalui kekuatan diplomasi tanpa tebusan apa pun.

“Sungguh ironi. Ketika negara lain mengandalkan kekuatan politik dan diplomatik untuk menyelamatkan warganya, kita justru menjadikan uang sebagai senjata utama. Nyawa Susanti tidak bisa ditukar dengan lembaran rupiah semata. Negara harus menggunakan seluruh kekuatannya, termasuk intervensi langsung Presiden dan pembentukan tim diplomasi khusus,” tegasnya.

Seruan Keadilan dan Konvensi Internasional

Rahmat juga mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional, termasuk Konvensi-Konvensi ILO, yang menekankan pentingnya perlindungan menyeluruh bagi pekerja migran. Namun implementasi konvensi itu di dalam negeri masih sangat lemah, terutama dalam hal bantuan hukum dan kejelasan diplomatik saat warga menghadapi ancaman hukuman ekstrem di luar negeri.

“Ratifikasi bukan sekadar dokumen. Ia adalah komitmen global. Jika kita gagal melindungi Susanti, maka itu berarti kita juga telah mengkhianati konvensi yang kita tandatangani,” Tegas rahmat.

“Selamatkan Susanti, Reformasi Tata Kelola PMI” menjadi seruan yang terus ia gaungkan, bukan hanya kepada pemerintah pusat, tetapi juga kepada pemimpin daerah yang selama ini tanpa sadar telah ikut menikmati devisa dari jerih payah para pekerja migran tanpa pernah benar-benar hadir saat mereka jatuh.

"Kini, waktu terus berdetak menuju Juni. Jika tidak ada langkah konkret, maka jeda ini bisa berubah menjadi vonis. Dan kita, sebagai bangsa, akan kembali mencatat satu nama lagi yang mati karena sistem yang abai," tutup Rahmat. (ALN)*

IMG-20250413-WA0003

Peduli Nasib Susanti, Rahmat Hidayat Djati Beserta Jajarannya Kunjungi Pihak Keluarga

H. Rahmat Hidayat Djati, M.I.P., (tengah) saat berbincang dengan Ayah dan keluarga dari PMI Susanti

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Terkait kabar Pekerja Migran Indonesia (PMI) Susanti yang kini terancam hukuman mati di Arab Saudi, H. Rahmat Hidayat Djati, M.I.P., selaku Ketua DPC PKB Karawang sekaligus sebagai Ketua Komisi 1 DPRD Provinsi Jawa Barat melakukan kunjungan ke kediaman keluarganya yang berlokasi di Dusun Sepatkerep, Desa Cikarang, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang. Sabtu (12/4/25).

Tak sendirian, kedatangan Ketua DPC PKB Karawang tersebut juga didampingi oleh Mulyana, S.H.I, selaku Anggota DPRD Dapil IV Karawang yang juga merupakan Ketua Fraksi PKB Karawang beserta jajaran pengurus DPC PKB Karawang lainnya.

Dalam kunjungannya, Rahmat Hidayat Djati intens melakukan perbincangan dengan Ayah dan keluarga dari Susanti, mulai dari awal mula Susanti berangkat bekerja ke luar negeri hingga berakhir dengan kabar pilu yang diterima pihak keluarga terkait kasus hukum yang menjeratnya.

Dalam kesempatannya, Mahpud selaku Ayah dari Susanti berharap agar pemerintah bisa melakukan upaya agar anaknya terbebas dari vonis hukuman mati sebagaimana yang telah ditetapkan dengan membayar diyat (denda-red).

"Saya sangat berharap agar pemerintah bisa melakukan upaya untuk pembebasan anak saya Pak. Kami dari pihak keluarga sudah berupaya semampunya, tapi kan tahu sendiri pembayaran diyat itu jumlahnya tidak sedikit," harap Mahpud dengan nada lesu. Sabtu (12/4/25).

Sementara itu, dalam kesempatannya, Rahmat Hidayat Djati mengaku akan membantu mengupayakan kebebasan Susanti dengan melakukan koordinasi dan mendorong pihak-pihak terkait untuk bersama-sama melakukan upaya pembebasan bagi Susanti.

"Insya Allah Pak, kami juga akan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk mengupayakan kebebasan Susanti. Kita bersama-sama berupaya Ya Pak, semoga hasilnya nanti sesuai harapan," ungkap Pria yang akrab disapa Kang Toleng tersebut dihadapan keluarga Susanti.

Selain untuk mengetahui kronologis detail dan tentang permasalahan yang menimpa Susanti secara langsung dari pihak keluarga, kedatangan Kang Toleng juga bertujuan untuk memberikan motivasi, sebagai bentuk kepedulian dan rasa kemanusiaan terhadap kesedihan yang dirasakan oleh pihak keluarganya dalam menghadapi nasib pilu yang di alami Susanti.

Selain itu, Kang Toleng juga datang bersama Ketum dan jajaran pengurus dari F-BUMINU SARBUMUSI yang akan melakukan pendampingan dalam menempuh upaya pembebasan Susanti, dengan harapan agar Susanti bisa terbebas dari hukuman yang memberatkannya saat ini. (Nunu)*

IMG-20241007-WA0012

Terkait Limbah Medis di Karangligar, Askun Desak Pemkab Berikan Sanksi Tegas

Asep Agustian, S.H., M.H., (Praktisi Hukum)

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Kasus pembuangan limbah medis di pemukiman warga Desa Karangligar Kecamatan Telukjambe Barat terus menjadi sorotan publik. Sabtu (12/4/25).

Pasalnya, selain mencemari lingkungan, limbah medis yang masuk kategori limbah B3 ini akan mengancam kesehatan dan keselamatan warga dalam jangka panjang, akibat air bawah tanah yang dikonsumsi warga tercemar.

Sementara terkonfirmasi DLHK Karawang, tumpukan limbah medis yang tercampur limbah domestik tersebut berasal dari dua rumah sakit swasta besar di Karawang, yaitu RS Bayukarta dan RS Hermina.

Praktisi Hukum dan Pemerhati Pemerintahan, Asep Agustian SH. MH menegaskan, harus ada sanksi tegas dalam persoalan ini. Jangan sampai ujung-ujungnya Pemda Karawang hanya sekedar memfasilitasi pihak rumah sakit untuk melakukan klarifikasi ke publik.

"Bohong kalau pihak rumah sakit ngaku tidak tahu menau persoalan ini. Kan ada kontrak kerja sama dengan pihak vendor si pembuang limbah. Dan di dalam masing-masing kontrak pasti ada kontroling," tutur Asep Agustian (Askun), Sabtu (12/4/2025).

Dan yang disesalkan publik, Askun menyindir kenapa beberapa pihak terkait yang seharusnya bertanggungjawab malah seolah-olah cuci tangan pasca persoalannya viral. Termasuk DLHK Karawang yang hanya bisa memberikan penjelasan temuan dan klarifikasi.

Sehingga akhirnya Bupati Karawang, H. Aep Syaepuloh turun tangan dan akan memanggil kedua pihak rumah sakit. Padahal seharusnya, kedua rumah sakit tersebut mendapatkan sanksi tegas sesuai PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 dan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Limbah.

"Sanksinya tegas, hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp. 5 miliar. Apalagi ini dua rumah sakit swasta besar semua," katanya.

"Saya apresiasi Pak Bupati yang mau manggil dua rumah sakit tersebut. Tapi kalau ceritanya seperti ini, ya kerjanya dinas ngapain?. Emang kerjanya bupati ngurusin yang beginian doang. Artinya, ya dinasnya gak becus kerja," timpal Askun.

Selain sanksi pidana dan denda, Askun juga mendesak kedua belah pihak rumah sakit memberikan ganti rugi atau kompensasi kepada warga di sekitar lokasi tempat pembuangan limbah medis.

Karena dampak negatif dari pembuangan limbah medis ini pasti akan dirasakan warga dalam jangka panjang. Karena mau tidak mau air bawah tanah yang dikonsumsi warga akan tercemar.

"Ya dampaknya tidak akan dirasakan sebulan atau setahun ke depan. Coba nanti lihat lima atau sepuluh tahun ke depan. Pasti akan ada dampak kesehatan yang bakal dirasakan warga," tandasnya. (red)*

IMG-20250408-WA0037

Desak Pemerintah, Ketum F-BUMINU SARBUMUSI : “Jangan Biarkan Susanti Tewas”

Ali Nurdin Abdurahman, Ketua Umum F-BUMINU SARBUMISI (kedua dari kiri)

Jendela Jurnalis JAKARTA - Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, menyampaikan desakan dan kecaman keras terhadap pemerintah Indonesia terkait nasib tragis Susanti binti Mahfudz, pekerja migran Indonesia asal Karawang, Jawa Barat, yang tinggal menunggu waktu untuk dieksekusi mati di Arab Saudi.

Susanti, yang sudah mendekam di penjara sejak 2009 atas tuduhan membunuh anak majikannya di Dawadmi, kini menghadapi tenggat pembayaran diyat (uang ganti rugi) sebesar 30 juta Riyal Saudi, sekitar Rp. 120 miliar, yang harus dilunasi paling lambat 9 April 2025, atau esok hari. Namun hingga hari ini, dana yang berhasil dikumpulkan baru sekitar 2,27 juta Riyal.

“Jika Susanti sampai dieksekusi besok, maka itu adalah kegagalan telanjang negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Ini bukan lagi soal hukum, ini soal moralitas negara dalam melindungi nyawa warganya,” tegas Ali Nurdin dalam pernyataan resminya, Senin (8/4).

Korban Sistem yang Gagal

Ali Nurdin menekankan bahwa Susanti bukan sekadar terdakwa, tapi korban dari sistem penempatan tenaga kerja yang amburadul. Susanti diberangkatkan ke Arab Saudi saat masih berusia 16 tahun, tanpa pendampingan hukum, tanpa kemampuan bahasa, dan hanya bekerja tiga bulan sebelum akhirnya dipaksa mengakui pembunuhan yang tidak dia lakukan.

“Bagaimana mungkin seorang anak di bawah umur bisa lolos sistem dan dikirim ke luar negeri? Lalu saat dituduh, dia dipaksa mengaku bersalah dan menjalani persidangan tanpa pendampingan hukum. Ini bukan hanya cacat hukum, ini kejahatan sistemik,” tegas Ali.

Ia menyoroti lemahnya perjanjian bilateral antara Indonesia dan Arab Saudi, serta ketiadaan nota diplomatik yang tegas dalam memberikan perlindungan hukum kepada pekerja migran yang tersangkut kasus pidana. “Kalau tidak ada sistem perlindungan yang jelas, maka pemerintah hanya sedang mengirim anak bangsa ke ladang pembantaian,” katanya.

Diplomasi Gagal, Negara Harus Bertanggung Jawab

Menurut Ali Nurdin, kegagalan diplomasi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) dalam menyelamatkan Susanti harus dikritisi secara serius. Ia menyayangkan bahwa hingga batas waktu tinggal sehari lagi, pemerintah masih belum bisa menggalang dana tebusan minimal Rp. 40 miliar hasil negosiasi.

“Jangan bandingkan nyawa Susanti dengan uang. Bandingkan dengan betapa banyaknya uang negara yang menguap akibat korupsi. Triliunan bisa digelontorkan untuk proyek mercusuar dan insentif politik, tapi menyelamatkan satu nyawa tak bisa?” katanya geram.

Ali juga mengutip Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab memberikan perlindungan menyeluruh, termasuk bantuan hukum, diplomatik, hingga kepulangan.

“Negara tidak boleh menyerah. Jangan biarkan Susanti tewas," singgungnya.

Seruan Terakhir untuk Presiden Prabowo

Melihat waktu yang tersisa tinggal hitungan jam, Ali Nurdin menyerukan Presiden Prabowo Subianto untuk turun langsung, apapun caranya. Ia menyebut bahwa keputusan untuk menyelamatkan nyawa Susanti kini tidak lagi ada di meja menteri, melainkan di tangan Presiden.

“Kita tidak butuh retorika, kita butuh tindakan. Presiden harus bertindak langsung, entah dengan diplomasi khusus, penggalangan dana darurat, atau opsi terakhir lainnya. Negara tidak boleh tinggal diam,” pungkasnya.

Ali Nurdin juga mengingatkan, Susanti bukan satu-satunya. “Masih banyak pekerja migran yang mengalami nasib serupa. Ironisnya, banyak dari mereka baru diketahui keberadaannya setelah vonis mati dijatuhkan atau bahkan setelah dieksekusi. Ini tidak bisa dibiarkan,” ucapnya.

“Kalau negara tak bisa hadir saat nyawa rakyatnya di ujung maut, maka untuk apa kita punya negara?” kata Ali Nurdin, mengakhiri pernyataannya. (NN)*

IMG-20250408-WA0003

Ali Nurdin Apresiasi Penundaan Pencabutan Moratorium Penempatan PMI ke Timur Tengah: Usul Revolusi Tata Kelola dan Penguatan Regulasi

Ali Nurdin, Ketum F-Buminu Sarbumusi (kiri)

Jendela Jurnalis JAKARTA - Ketua Umum F-Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, menyambut positif keputusan pemerintah untuk menunda pencabutan moratorium penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Timur Tengah. Menurutnya, penundaan ini adalah langkah bijak di tengah belum terselesaikannya berbagai persoalan mendasar yang justru menjadi alasan utama diterapkannya moratorium oleh menteri-menteri sebelumnya seperti Muhaimin Iskandar dan Hanif Dhakiri.

"Kita harus jujur, akar persoalan penempatan PMI ke Timur Tengah belum benar-benar dibenahi. Mulai dari sistem penempatan yang longgar, perlindungan hukum yang lemah, hingga maraknya praktik perdagangan orang. Maka, langkah pemerintah untuk menunda pencabutan moratorium ini patut diapresiasi," ujar Ali Nurdin dalam pernyataannya.

Lebih jauh, Ali Nurdin menekankan perlunya revolusi tata kelola dalam sistem penempatan dan perlindungan PMI. Menurutnya, perombakan sistem ini tidak cukup hanya dengan reformasi teknis atau kebijakan sektoral, tetapi membutuhkan payung hukum yang kuat melalui revisi atau amandemen Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Pengesahan revisi UU adalah dasar bagi reformasi total. Undang-undang harus menjadi poros hukum untuk seluruh turunan peraturan, baik peraturan pemerintah maupun peraturan menteri. Kita tidak bisa membangun sistem yang adil dan bermartabat kalau pijakannya rapuh," jelasnya.

Ali juga menolak wacana penghapusan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sebagai operator dalam sistem ini. Menurutnya, badan seperti BP2MI tetap harus ada, meskipun bisa dengan nama baru. Hal ini mengingat fungsi operator tidak dapat dirangkap oleh lembaga regulator seperti Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI).

"Kita tidak mungkin membiarkan wasit merangkap jadi pemain. Perlu dibentuk lembaga khusus yang fokus sebagai operator tata kelola penempatan dan perlindungan PMI. Apakah nantinya di bawah presiden langsung atau Menko Pemberdayaan Masyarakat, itu soal teknis. Yang penting, lembaga ini bisa mensinergiskan seluruh kementerian terkait secara fungsional dan sistematis," tegasnya.

Lembaga operator ini diusulkan menjadi sistem layanan satu pintu yang terdiri dari unsur tripartit: pemerintah, asosiasi perusahaan penempatan, serta NGO atau serikat buruh. KP2MI tetap menjadi regulator utama, tetapi pelaksanaan teknis berada di tangan lembaga operator yang melibatkan berbagai kementerian strategis seperti Kementerian Desa, Kementrian Luar Negeri, Kemensos, Kementerian Pendidikan, Kemenkes, Kemenkop dan UMKM, Kemenpora, Kemendagri, Kepolisian, Imigrasi, hingga Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan serta kementerian terkait lainnya yang harus mempunyai tanggungjawab yang sama.

Secara filosofis, usulan Ali Nurdin mencerminkan pandangan sistemik yang berbasis pada pendekatan holistik bahwa pekerja migran bukan hanya entitas ekonomi, tetapi manusia utuh dengan kebutuhan pendidikan, kesehatan, hukum, sosial dan budaya. Teori Human Development dari Amartya Sen menjadi relevan dalam konteks ini, di mana pembangunan manusia tidak cukup hanya diukur dari pendapatan, tetapi juga dari perluasan pilihan hidup dan perlindungan atas martabat.

Kementerian Luar Negeri harus mengambil peran sebagai pelindung utama di luar negeri dengan memastikan adanya perjanjian bilateral yang melindungi hak-hak PMI serta menyediakan diplomat khusus yang memahami isu migrasi pekerja migran untuk advokasi. Kementerian Desa, bisa menjadi garda depan dalam pendataan awal calon PMI dan pemantauan purna migrasi. Kementerian Pendidikan bertanggung jawab atas pelatihan bahasa dan keterampilan calon PMI, termasuk pendidikan bagi anak-anak dan keluarganya.

Kementerian Kesehatan diperlukan untuk pemeriksaan dan layanan kesehatan PMI dan keluarganya. Kementerian Sosial dan PPPA dapat memberikan layanan trauma healing dan bantuan sosial untuk korban kekerasan atau perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak. Kementerian UMKM dan Koperasi diharapkan menjadi pendorong pemberdayaan ekonomi PMI dan pengembangan wirausaha purna migrasi. Kemenpora memiliki potensi besar dalam pembinaan mental dan motivasi, sementara Kemendagri, Imigrasi, dan Kepolisian bertugas dalam pengadministrasian, penerbitan dokumen, serta penegakan hukum.

"Kita butuh revolusi, bukan tambal sulam. Perlu sistem yang manusiawi, bermartabat dan berkeadilan. Negara wajib hadir tidak hanya saat keberangkatan, tapi dari hulu ke hilir dalam kehidupan pekerja migran," tutup Ali Nurdin.

Dengan skema ini, penempatan dan perlindungan PMI tidak lagi menjadi urusan satu lembaga, melainkan tanggung jawab kolektif negara melalui orkestrasi kebijakan lintas sektoral yang berlandaskan pada keadilan sosial. dihargai, dilindungi, dan disejahterakan. (red)*

IMG-20240907-WA0029

Ali Nurdin Sebut Dedi Mulyadi Jadi Harapan Besar bagi Pekerja Migran Jawa Barat Menuju Kesejahteraan

Ali Nurdin (Ketua Umum F-Buminu Sarbumusi)

Jendela Jurnalis Kuningan, JABAR - Menyikapi banyaknya persoalan tentang Pekerja Migran Indonesia (PMI), Ali Nurdin selaku Ketua Umum F-Buminu Sarbumusi menyebut bahwa kini sosok Dedi Mulyadi sebagai Gubernur Jawa Barat dianggap membawa harapan besar untuk kesejahteraan PMI di Jawa Barat. Kamis (3/4/25).

Berikut naskah yang ditulis Ali Nurdin dengan judul "Dedi Mulyadi dan Harapan Besar untuk Pekerja Migran Jawa Barat Menuju Kesejahteraan" sebagai berikut ;

Kisah Seorang Pahlawan Devisa yang Terluka

Di sudut Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, seorang perempuan berusia 32 tahun bernama Siti menatap kosong ke langit. Dua tahun lalu, ia meninggalkan kampung halaman dengan janji menjadi pekerja di Malaysia. Namun, impiannya berubah menjadi mimpi buruk: upah tak dibayar, paspor disita, dan hidup dalam tekanan. Kisah Siti bukanlah cerita tunggal. Ia mewakili ribuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Jawa Barat yang terjebak dalam jerat Trafficking in Persons (TPPO). Di tengah kepedihan ini, harapan baru muncul: harapan pada Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, untuk mengubah nasib mereka.

Jawa Barat: Episentrum PMI dan Tantangan TPPO

Sebagai provinsi penyumbang PMI terbesar di Indonesia (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan PMI, 2022 mencatat 35% PMI berasal dari Jabar), Jawa Barat menjadi saksi bisu gelombang warga yang berangkat mencari penghidupan lebih baik. Sayangnya, minimnya pendidikan dan akses lapangan kerja lokal membuat banyak masyarakat, terutama lulusan SD-SMP, terpilih menjadi PRT atau buruh kasar di luar negeri. Celah inilah yang dimanfaatkan sindikat TPPO. Mereka menjanjikan prosedur cepat, namun justru menjerumuskan PMI ke dalam eksploitasi. 

“Masalah (TPPO) bukan sekadar kejahatan, tapi kegagalan kita membangun kesejahteraan di tingkat akar rumput,” ujar KDM dalam suatu kesempatan di Purwakarta, 2023. Pernyataan ini menggambarkan visinya yang holistik: memberantas TPPO tak hanya dengan penindakan, tetapi juga dengan membangun solusi struktural.

Refleksi Kepemimpinan KDM: Dari Purwakarta ke Jawa Barat

Kepedulian KDM terhadap masyarakat marginal bukanlah hal baru. Saat menjabat Bupati Purwakarta (2008-2018), ia menggagas program “Pendidikan Berbasis Karakter” yang memadukan kurikulum akademik dengan pelatihan keterampilan praktis, seperti pertanian dan UMKM. Hasilnya, angka putus sekolah turun 40%, dan banyak pemuda beralih dari urbanisasi ke wirausaha lokal. Kebijakan ini relevan jika diterapkan untuk calon PMI: pendidikan vokasi berbasis permintaan pasar global bisa menjadi alternatif bagi lulusan rendah yang rentan menjadi korban TPPO.

Selain itu, KDM dikenal dengan pendekatan kultural dalam pembangunan. Ia kerap mengutip filosofi Sunda: “Ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman” (melindungi nilai lama, mengadaptasi zaman baru). Filosofi ini bisa menjadi dasar kebijakan perlindungan PMI yang memadukan kearifan lokal dengan inovasi modern.

Solusi Tatakelola: Tiga Pilar Kebijakan yang Ditunggu

1. Pencegahan Penempatan Non Prosedural yang cenderung pada Tidak Pidana Perdagangan Orang TPPO melalui Pemberdayaan Ekonomi Lokal

Membuka lapangan kerja bagi lulusan rendah dengan mengembangkan sektor padat karya di Jabar, seperti industri kreatif (batik, anyaman), agroindustri, dan pariwisata berbasis komunitas. Program “Sabilulungan Wirausaha” bisa diadopsi untuk memberikan modal dan pelatihan teknis. Seperti kata KDM: “Jangan biarkan anak muda kita hanya jadi pelayan di negeri orang, tapi jadikan mereka tuan rumah di tanah sendiri.”

2. Reformasi Sistem Rekrutmen PMI  

   Memperkuat pengawasan terhadap Perusahaan Penempatan PMI (P3MI) ilegal dan membentuk posko pengaduan di tingkat desa. KDM dapat mengadopsi model “Desa Migran Sejahtera” ala Kabupaten Cilacap, yang memastikan calon PMI mendapat pelatihan pra-keberangkatan, dokumen lengkap, dan pemantauan di penempatan maupun pasca-penempatan.

3. Perlindungan Hukum dan Advokasi  

   Membentuk Satgas Anti-TPPO provinsi yang bekerja sama dengan Kementerian terkait dan Aparat Penegak Hukum. Selain penindakan, penting juga menyediakan rumah singgah dan pendampingan hukum bagi korban. Seperti contoh kebijakan “Rumah Harapan” di Jawa Tengah, yang memberikan trauma healing dan pelatihan reintegrasi.

Kolaborasi sebagai Kunci: Sinergi Pusat-Daerah dan Masyarakat Sipil

KDM tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan sinergi dengan Kementerian Ketenagakerjaan untuk memperluas program Kartu Prakerja berbasis sektor spesifik (misalnya perawatan lansia atau teknisi), serta kemitraan dengan LSM dan Organisasi Pekerja Migran untuk edukasi hak-hak PMI. Di tingkat ASEAN, Jabar bisa menjadi pionir dalam memperjuangkan MoU perlindungan PMI yang lebih mengikat.

Dari Harapan Menuju Aksi Nyata

Harapan pada KDM bukanlah ilusi. Sejarah kepemimpinannya di Purwakarta membuktikan bahwa pendekatan berbasis budaya dan pemberdayaan bisa mengubah wajah daerah. Jika kebijakan yang pro-PMI dijalankan secara konsisten, Jawa Barat tak hanya akan mengurangi angka TPPO, tetapi juga menjadi contoh tata kelola migrasi yang manusiawi. Seperti pesan KDM dalam pidato pelantikannya: “Kita tidak butuh pahlawan yang jauh di sana, karena setiap kebijakan yang memanusiakan manusia adalah pahlawan zaman sekarang.”  

Kini, saatnya Jawa Barat menulis bab baru: dari daerah penyumbang PMI tertinggi, menjadi pelopor kesejahteraan Pekerja Migran. (NN)*

IMG-20250331-WA0045

Rayakan Malam Takbiran, DKM Bani Husen Langgensari Sukses Gelar Festival Tabuh Bedug

Foto usai pengumuman pemenang festival

Jendela Jurnalis Karawang, JABAR - Dalam rangka merayakan malam takbiran di Hari Raya Idul Fitri 1446 Hijriah, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Bani Husen menggelar acara 'Festival Tabuh Bedug Kemenangan' di Halaman Masjid Jamie Bani Husen Desa Langgensari yang diikuti oleh seluruh jama'ah dan warga sekitar khususnya Desa Langgensari Kecamatan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang. Minggu 30/3/25).

Bertajuk 'Semarak Puncak Kemilau Ramadhan Bani Husen 1446 Hijriah,' dan dengan mengusung tema untuk memaksimalkan kreatifitas, serta memaafkan tanpa batas, acara tersebut sukses terselenggara atas kerjasama antara DKM Masjid Jamie Bani Husen, DKM Masjid Al-Hidayah dengan Ranting NU Desa Langgensari.

Selain itu, penyelenggaraan acara festival tabuh bedug tersebut juga didukung oleh Pemerintahan Desa (Pemdes) Langgensari dan juga Karang Taruna Desa Langgensari.

Penyelenggaraan acara festival

Dalam pelaksanaannya, acara diikuti oleh beberapa peserta yang kemudian dilombakan pada festival oleh dewan juri yang telah dipersiapkan oleh panitia. Adapun juri dalam acara tersebut meliputi 3 unsur diantaranya adalah Asep Dahyan, S.Pd., dari Unsur LASKI & Disparbud Kabupaten Karawang, Siti Hani Rohaeni, S.Sn., (Pegiat Seni Tari Karawang) dari Karang Taruna Kecamatan Cilamaya Kulon pada Bidang Seni dan Budaya dan Juri Kehormatan oleh H. Ujang Udirta selaku Kepala Desa Langensari.

Setelah melalui proses perlombaan dan melewati tahapan penilaian, akhirnya ditentukan bebepa pemenang diantaranya adalah untuk Juara 1 diraih oleh peserta dari RT. 002 (Glebod Band), sedangkan untuk Juara 2 diraih oleh RT. 004 (Era Mawana Band), dan pada Juara 3 diraih oleh RT. 005 (Dedi Band).

Selain juara 1,2 dan 3, ada juga nominasi Vocal Terbaik yang jatuh pada peserta dari RT. 003 (Sdr. Delon), untuk kategori Kostum Terbaik diraih oleh peserta dari RT. 004 (Era Mawana Band) dan untuk Koreografi Terbaik jatuh pada RT. 002 (Glebod Band). Sementara untuk kategori Suporter Favorit diraih oleh warga dari RT.005.

Dibawah Kepemimpinan Kyai Opah Khurtobah sebagai Ketua DKM Bani Husen yang telah memberikan kesempatan kepada Mbing Suryana (Izur) sebagai Ketua Panitia berdasarkan kesepakatan dalam rapat, tentunya telah mewarnai kemeriahan perayaan hari besar keagamaan khusunya di Idul Fitri 1446 Hijriah kali ini, hingga DKM Bani Husen berhasil menyuguhkan acara yang terbilang meriah dan menjadi sebuah moment pemersatu umat. (Nunu)*